Sebagai seorang designer, meskipun "asline" tidak bisa menggambar, tidak mengerti tentang kombinasi warna, tidak mempunyai darah seni, dll dll dll, saya selalu mencoba untuk mendesain apapun juga. Kegemaran saya mendesain brosur, iklan, spanduk, website, dll dll dll. Namun saya juga pernah "melihat" seorang teman melakukan desain rumah dan saat itu saya terlibat, walau hanya sedikit. Sebutlah nama teman saya itu Ir. Didik Budiono (saya masih menggunakan nama samaran ya). Dari dialah saya mulai belajar mendesain tampilan rumah, layout, potongan, dll dll dll dll dll.
Dan berbekal pengetahuan yang sedikit tersebut, mulailah saya memberanikan diri mendesain tampilan rumah kami.
Eng eng, dan mulailah saya "sok tahu".
Dengan berbekal literatur gambar yang saya peroleh di internet, saya mulai membayangkan seperti apa nantinya tampilan rumah kami. Dari literatur satu, saya comot ide tampilannya. Dari literatur dua, saya comot juga ide tampilannnya. Dari literatur tiga, saya comot lagi ide tampilannya. Kemudian saya tuangkan di komputer. Tempel sana, tempel sini. Tarik sana, tarik sini. Ubah sana, ubah sini. Cat sana, cat sini. Dan jadi.
Gambar yang sudah jadi ini, coba aku tunjukkan kepada temanku yang lain, yang aku anggap kompeten di bidang bangunan. Sebutlah namanya Mas Dody (sekali lagi nama samaran lho ya, .... untuk Pak Irwan .. hehehe), aku berharap mendapat pujian sedikit atau yah setidaknya masukkan. Namun .... Mas Dody berkata, "Konsep bangunan ini carut marut, seperti tidak ada temanya, seperti tidak ada jati dirinya dan sebagian tidak bisa diterapkan dalam konstruksi bangunan atau malah akan merusak fungsinya."
Kemudian Mas Dody, mulai menunjukkan bagian-bagian mana saja yang tidak sesuai. Boleh percaya dan harus percaya, hampir 100% desain yang saya berikan semuanya dikoreksi. Kecuali bentuk pintu, bentuk jendela, bentuk pagar, yah karena bentuknya tidak berubah dari aslinya.
Wah sedih sekali.
Pembaca yang sempat membaca.
Hidup saya pun kurang lebih seperti bangunan tersebut. Saya mencoba merekonstruksi bangunan hidup saya dengan mengambil berbagai literatur tanpa pemahaman yang baik.
Saya sering menyalahkan bentuk bangunan awal, saya sering menyalahkan masa lalu saya.
Saya sering mengganti konsep bangunan tanpa konsep, saya sering berganti "suatu cara" pembenaran diri tanpa pemahaman yang jelas.
Saya sering merubah tampilan cat tembok rumah, saya selalu bosan dengan diri saya, yang sepertinya itu-itu saja.
Dan masih banyak lagi.
Sampai suatu kali, ada seorang teman dan beberapa lainnya, mengenalkan saya pada Seorang Arsitek Bangunan yang sangat pakar, ahli dan tidak diragukan lagi.
Dari awal perkenalan, mulanya aku ragu. Apakah ini Jalan yang Benar ? ataukah nantinya aku hanya akan mengulang untuk merekonstruksi bangunanku lagi ?
Saat itulah aku mulai bimbang, namun dalam kebimbanganku, temanku mengingatkan aku dan memberikan suatu contoh dari dalam kehidupannya. Bagaimana dia menyerahkan rumahnya untuk direkonstruksi oleh Sang Arsitek tersebut. Dan dia tahu, itu adalah satu-satunya cara yang tepat.
Ok, aku serahkan bangunanku ke tangan Sang Arsitek tersebut. Setelah berbincang-bincang cukup lama dengan Sang Arsitek, diputuskanlah bentuk bangunan yang sesuai untukku.
Proses rekonstruksi dimulai. Proses pertama mulai dijalankan, wah rasanya bukan main. Menyenangkan, paling tidak aku tahu, sudah mulai ada proses rekonstruksi.
Mulai masuk proses kedua. Di dalam proses kedua ini, aku sudah mulai gelisah. Mengapa lama sekali proses ini ? Mengapa tidak secepat proses pertama ? Bukankah tinggal melanjutkan saja, bukankah tinggal " wuss wuss wuss wuss " saja, pikiranku mulai kacau. Pikiranku mulai berkata, hmmm rasanya salah proses ini, harus aku hentikan atau harus aku bantu rasanya.
Aku lakukan apa yang ada di dalam pikiranku. Sang Arsitek aku minta untuk berhenti dan berkata, "aku bisa melanjutkannya dengan lebih cepat". Dan tanpa aku sadari, aku mulai lagi prosesku dari awal. Awal sekali, bahkan merusak proses pertama yang telah dilakukan Sang Arsitek. Dan saat semuanya sudah setengah berjalan, aku memandang bangunanku.
Saat itulah aku terbelalak. Hancur. Tanpa bentuk. Tanpa tema. Tidak ada konsep. Bangunan yang satu merusak bangunan yang lain.
Aku mulai menangis dan menyesali diri. Aku begitu bodoh tidak percaya kepada Sang Arsitek. Aku mulai datang kembali kepada Sang Arsitek dan memintanya untuk membenahi bangunanku.
Dengan penuh kesabaran, kelembutan dan tanpa amarah karena aku telah mengacak-acak konsep bangunannya, Sang Arsitek mulai membongkar satu persatu bangunanku. Dia cari bagian-bagian yang merusak. Dia perbaiki sesuai dengan konsep bangunan yang baik. Dan saat ini aku berdiam diri, melihat satu persatu bangunanku diperbaiki, dibongkar dan direkonstruksi sesuai dengan konsep Sang Arsitek.
Aku bersyukur diperkenalkan dengan Sang Arsitek tersebut, lebih dari apapun.
Dan kini proses tersebut masih berjalan. Aku menjalani hidupku, tanpa mengotak-atik bangunan yang tengah dikerjakan. Aku mengucap syukur masih memiliki bangunan tersebut.
Arsitek yang baik, ... jiayou ... (kata temanku, Diana Ratulangi .. kali ini bukan nama samaran).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.