Ya Tuhan, ingin aku bisa merasakan saat-saat dulu aku belum terbelenggu dalam mual, ketakutan, kepanikan, ketidakyakinan, kecemasan, kekuatiran, ketidakpercayaan, ketidaksabaran.
Ya Tuhan, aku teringat saat-saat itu semua, namun aku juga ingat bahwa saat itu aku dicap sombong. Dicap tidak mau bergaul, dicap “kakeyan cangkem”, dicap sebagai orang yang “easy going”, dicap sebagai orang yang tidak mau memperhatikan orang lain, dicap sebagai orang yang tidak enak untuk diajak berteman.
Ya Tuhan, aku ingat saat SD aku bisa menjadi seorang pemimpin defile baris berbaris saat perlombaan PKS di Surabaya.
Namun saat SD pula aku selalu dijauhi oleh teman-temanku karena tidak bisa bermain sepakbola.
Ya Tuhan, aku ingat saat SMP, aku bukanlah anak yang diperhitungkan. Aku bukan anak pintar di kelasku, namun nilaiku selalu tinggi di kelas Elektronik. Aku ingat guru Elektronik-ku selalu menyukai hasil kerjaku.Hasil kerja yang selalu aku lakukan sendiri, karena aku tidak mempunyai kelompok seperti yang lain, sebab aku bukan teman yang menyenangkan untuk mereka jadikan teman kelompok. Mungkin karena aku “kakeyan cangkem”.
Ya Tuhan, aku ingat saat SMA, aku ikut dalam grup band kelas 1. Meskipun kalah dalam kompetisi, namun aku cukup senang karena aku bisa bermain dengan gitar listrik di atas panggung. Aku juga ingat saat kelas 3, aku kembali diajak untuk bergabung dengan sebuah grup band SMA-ku yang saat itu sering memenangkan kompetisi karena memiliki vokalis dan keyboardis yang bagus. Senang rasanya bisa ikut berbagai kompetisi saat itu. Namun aku tetap tidak memiliki teman dekat, karena aku bukan pilihan yang menyenangkan bagi mereka.
Pun juga saat aku memilih untuk mengikuti Kegiatan Pecinta Alam. Aku bukan pilihan yang menyenangkan untuk dijadikan teman dekat, karena aku “kakeyan cangkem”.
“Kakeyan cangkem”-ku membuat semua orang tidak menjadikan aku sebagai pilihan yang menyenangkan untuk dijadikan teman baik. Aku sombong, aku pemilih teman, aku tidak punya kemampuan yang umum dimiliki oleh anak laki-laki saat itu. Namun saat itu, tidak pernah sekalipun aku merasa takut, cemas, kuatir, sesak, mual, tidak sabaran dan lain-lain.
Kuliahku bukanlah bagian terbaik dalam hidupku saat itu, karena itu bukanlah jurusan pilihanku. Pilihan keduaku adalah D3 Manajemen Informatika, namun karena Papa kurang setuju dengan gelar yang hanya D3 bukan S1, akhirnya aku masuk ke Pertanian, jurusan yang bukan pilihanku. Mungkin aku ada rasa bangga karena bisa lulus UMPTN, atau mungkin rasa sombong karena tidak seorang teman-temanku di kelompok gereja yang bisa masuk. Bangga yang menjadi kesombonganku ? Atau bangga dan sombong adalah dua sisi dalam hidupku ? Atau bangga hanya 1% sementara kesombonganku adalah 99 % ?
Namun saat kuliah, aku hanya mengalami mual di awal-awal aku akan masuk Laboratorium apapun. Aku tidak pernah mual saat aku menjadi assisten dosen yang harus berhadapan dengan banyak Mahasiswa baru, untuk memberikan “tutorial”, untuk memberikan tanda tangan, atau apapun kegiatanku saat itu. Apakah saat itu aku bangga atau aku saat itu menjadi sombong ? Karena saat itu aku tidak mempunyai “wacana” takut, cemas, kuatir, sesak, dan lain-lain. Hanya mual di awal saja, tidak setiap kali seperti saat ini. Menyenangkan sekali saat itu, atau lebih tepatnya aku tidak tahu bahwa saat-saat itu pada akhirnya menjadi saat-saat yang akan aku rindukan, saat ini.
Ya Tuhan, andai saat itu ada yang mengajariku tentang alam bawah sadar, andai saat itu ada yang membantu aku keluar dari akar kepahitan yang tidak aku sadari, andai saat itu ada yang mau menemani aku dan membantuku menjadi lebih baik, andai saat itu aku hidup di keluarga istriku sekarang, andai aku bisa belajar untuk mengasihi, menghormati orang lain, tidak sombong, tidak “kakeyan cangkem”. Kenapa tidak ada wacana, ilmu, atau apapun yang dapat menolongku agar aku tidak harus melewati masa-masa tidak menyenangkan saat ini.
Ya Tuhan, jujur aku kuatir bila anakku menjadi seperti aku. Karena aku beberapa kali pernah melihatnya mual dan bingung dengan apa yang dia alami. Tolong Tuhan,jangan jadikan dia seperti aku. Biarlah mualnya hanya karena makan terlalu banyak, biarlah mualnya hanya karena minum terlalu banyak, biarlah mualnya hanya karena setelah makan dia langsung lari-lari, biarlah mual itu hanya reaksi fisik bukan reaksi psikis. Tolong Tuhan.
Kini aku sudah tidak seperti dulu. Boleh tanya Tuhan, hingga kapan akan ada duri dalam dagingku ini ?
Bagaimana aku harus menjalani hidup di dunia ini dengan baik, bila rasa mual, sesak, cemas, tidak sabaran, tidak percaya, terus menghantuiku.
Mengapa, dulu hanya mual, sekarang bertambah parah dengan hadirnya kecemasan, kepanikan, yang tiba-tiba muncul ?
Mengapa aku tidak bisa hidup normal seperti orang lain ? Ataukah aku harus menjalaninya dan seperti pembelaanku pada diriku sendiri, bahwa aku akan menjadikan ini sebagai berkat, cerita, pelajaran bagi orang lain ?
Berapa banyak orang lagi yang harus aku beritahu tentang keadaanku ini ? Hingga kapan aku akan bercerita tanpa ujung yang jelas ?
Ingin aku mengakhiri ceritaku dengan kata-kata … “setelah sekian lama aku menderita, kini aku sudah bisa hidup normal,karena pertolongan dan mujizat dari Tuhan sendiri”.
Tuhan hanya hal kecil ini sajalah yang aku inginkan. Bolehkah Tuhan ?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.