Malam ini aku duduk sendiri. Tidak ada seorangpun yang menemaniku. Tidak ada gitar, tidak ada teh panas, tidak ada pisang goreng, tidak ada angin, hanya suara jangkrik saja yang bersahutan. Dan bangku teras rumahku menjadi tempat yang paling menyenangkan bagiku malam ini. Sejauh mataku memandang, hanya gelap malam saja yang terlihat. Pekat sekali, karena cahaya bulan yang samar-samar saja terlihat.
Dinginnya malampun seakan enggan membelai kulitku, sehingga kubiarkan saja diriku tanpa terlindungi oleh sweater kesayanganku. Ada rasa kangen yang menyeruak di hatiku. Rasa kangen,
rasa rindu akan senyuman seorang pria yang sangat hangat dan terasa melindungiku setiap saat. Namun, senyum itu sedang jauh, jauh di batas negara, jauh di seberang laut yang seolah tanpa batas. Wajahnya terlukis samar di langit, dengan senyum yang tipis, kumis yang tipis, jenggot yang tipis, rambut yang dibiarkan agak panjang. Ah, kenapa pagi lama sekali datang, karena aku sudah tidak sabar untuk memeluknya.
Mataku mengerjap malas, sebias cahaya matahari menyeruak masuk menembus tirai kamarku. Wah, siapa yang membuka tirai kamarku, pikirku kemudian. Masih dengan sedikit heran dan rasa kantuk yang masih menggelayuti mataku, aku melihat secangkir teh panas di meja kamarku. Ah, siapa yang membuat ini. Tiba-tiba jantungku berdegup kencang, rasa senang, rasa rindu, rasa kangen yang beberapa hari menyesakkan dadaku keluar dan mengikuti tubuhku yang secepat kilat berlari menyusuri ruang demi ruang dan mengantarku berhenti di depan pintu dapur rumahku. Aku melihat sosok pria yang selalu ingin kupeluk sedang sibuk menggoreng sesuatu. Hmm, dari baunya aku tahu, ini adalah pisang goreng. Kontan aku memekik, setengah berlari aku tubruk sosok pria itu dan memeluknya dari belakang.
"Kakak !!" teriakku.
Dengan penuh senyum, pria tersebut, yang tak lain adalah kakakku membalikkan badan, lembut dia berkata, "Lho, Tuan Putri sudah bangun. Sudah diminum tehnya ? Tunggu ya, pisang goreng kesukaanmu akan siap beberapa menit lagi." Dengan penuh senyum, dia mencium keningku.
"Sebentar, kakak lanjutin dulu menggorengnya, kamu pasti akan cerewet kalau pisangnya jadi hitam-hitam tidak karuan,"lanjutnya.
"Ah, kakak jahat. Datang kok tidak membangunkan aku. Kan aku bisa menyiapkan sarapan untuk kakak. Masa kakak yang bikin sarapan," kataku sambil tertawa senang. Duh, senang sekali pagi ini, akhirnya aku tidak akan kesepian beberapa bulan ke depan. Kakakku tetap melanjutkan menggoreng pisang-pisang yang tingga sedikit lagi. Hmm, bau harumnya benar-benar menggelitik perutku yang lapar.
Sambil menguap, kuregangkan badanku. Ah, rasanya masih malas aku pagi ini, namun karena kakakkulah, aku bisa membuka mataku dan duduk menunggunya di meja makan.
"Ganti baju dulu sana gih. Masa sudah gede gitu gak malu sama kakaknya ?" kata kakakku sambil menyiapkan pisang goreng di atas meja makan. Sekilas dia tampak menggodaku, matanya dipelototkan, seperti orang yang kaget.
"Yeeee, kakak genit. Pantes saja yang ngerubutin anak-anak SMA." protesku sambil tersenyum.
"Kamu ganti baju dulu gih, sekalian ambil teh di kamar kamu. Sesudah sarapan, kita jalan-jalan bentar yuk. Capek nih kaki kakak, dari kemarin kebanyakan duduk," sahut kakakku yang berjalan ke arah dapur untuk mengambil garpu dan piring.
Tanpa menjawab, aku balik ke kamar. Mengganti bajuku dengan kaos putih lengan pendek dan celana pendek favoritku. Setelah mengambil cangkir teh, aku keluar menuju ruang makan. Kakakku sudah memotong-motong pisang, dan ditaruhnya di atas piring. Diambilnya garpu,lalu disodorkannya kepadaku.
Sambil memakan pisang, kulihat dalam-dalam wajahnya. Hmm, masih terlihat tampan di usianya yang ke 31 tahun. Tetap dengan kumis dan jenggotnya yang tipis, membuatnya terlihat macho. Kakakku tidak memiliki badan yang atletis, namun dia cukup menyenangkan untuk dilihat.
Sadar sedang dilihat, kakakku melotot, "Ngapain lihat-lihat, belum pernah lihat cowok keren, hah ?" kata kakakku, kembali sambil melotot. Kali ini dia berusaha memasang tampang sangar, namun gagal. Karena aku tertawa melihat wajahnya.
"GR amat. Siapa juga yang lihat. Orang aku lagi berdoa, agar kakakku yang tampan ini segera dapat jodoh. Weee." balasku sambil mengeluarkan lidah.
"Kalau kakak dapat jodoh, kemudian dapat istri, siapa yang akan menemani kamu, hah ?" tanya kakakku, sambil melotot lagi.
Aku tidak menjawab. Dalam hati, aku membenarkan kata-katanya. Jika kelak dia sudah menikah, apakah aku bisa tetap bersama dengan dia. Ah, sudahlah. Aku tidak terlalu mau memikirkannya saat ini.
"Sudah yuk, kita jalan. Keburu siang nanti. Aku ada kelas siang nanti sampai sore. Kakak yang masak lagi ya, Tuan Putri pengen makan kepiting asam manis, bikinan kakak yang terkenal itu," rajukku manja.
Sambil berjalan ke depan, aku menarik tangannya. Hmm, sudah lama aku tidak bermanja dengan kakakku. Kukaitkan tanganku manja di lengannya. Kadangkala orang melihat kami seperti sepasang kekasih, bahkan pernah ada laki-laki yang menyukaiku menjadi patah hati saat melihat kemesraan kami, karena dia mengira kakakku adalah kekasihku. Biar saja apa kata orang. Karena aku ingin terus bersamanya, selamanya. Sampai saat itu tiba.
Sore hari sepulang dari kuliah, aku mendapati kakakku sedang membersihkan taman di depan rumah.
"Sore kak, waduh rajin banget ya kakak. Rumputnya sudah dicabuti ? Terus potnya sudah disirami ? Taman belakang sudah disapu ?" godaku saat turun dari mobil yang kuparkir persis di sampingnya.
Saat kututup pintu mobilku, tiba-tiba air dingin membasahi badanku.
"Eh, Tuan Putri sudah datang, aduh maaf, saya tidak melihat ada Tuan Putri di sana. Basah ya ? sekalian mandi saja ya," ledek kakakku, sambil terus mengarahkan selang air ke badan dan kakiku.
"Kakak !!," teriakku gemas. Aku kejar dia, sambil kurebut selang air itu dari tangannya serta membalas perbuatannya kepadaku.
Puas membalasnya, setengah berlari aku masuk melalui pintu samping rumahku, karena aku tahu, biasanya kakakku sudah mengepel ruang tamu, jadi aku tidak mau membuatnya kotor kembali.
Gemericik air kamar mandi, diiringi musik yang aku putar dari MP3 player mengantarku untuk membersihkan badan. Rasa lelah setelah seharian kuliah terasa hilang. Selesai mandi, dengan masih mengenakan handuk, aku keluar menuju ruang makan. Hmmm, bau masakan yang sudah kurindukan terasa menusuk hidungku. Kepiting asam manis buatan kakakku memang tiada duanya. Baunya benar-benar enak. Tiba-tiba ada tangan yang menjitak kepalaku dari belakang.
"Heh, anak nakal ya. Sudah dibilangin, ganti baju dulu yang benar, baru makan. Ini malah belum pakai baju, sudah berani-beraninya colak-colek masakan kakak."
"Auw," teriakku meringis. "Kan cuma ngincipin kak, pengen tahu, enak apa tidak masakannya sekarang."
"Enak! Sudah sana, ganti baju dulu," teriak kakakku sambil mendorongku.
Ini adalah salah satu kenangan termanis yang pernah aku rajut bersamanya. Kakakku yang sangat aku sayangi. Kakakku yang selalu ingin melindungi aku. Kakakku yang meskipun sedang bergumul dengan berbagai masalah, namun selalu menyediakan waktunya untuk membantuku menyelesaikan masalahku. Kakakku yang selalu menyediakan bahunya, saat aku menangis. Kakakku.
Saat ini, aku hanya bisa berkhayal sedang menemaninya hari-harinya.
Meskipun kadang aku masih menyempatkan diri untuk melihatnya duduk di teras rumah, dimana aku dulu sering duduk disana dan melamunkan dirinya. Aku bahkan masih sering melihatnya memainkan gitar kesayanganku, sambil sesekali bergumam menyanyikan lagu-lagu yang biasa kami nyanyikan berdua. Kadang dia menghapus air mata yang meleleh di kedua pipinya. Aku tahu, kakakku sedang merindukan aku. Andai aku bisa, aku ingin menyapanya. Aku ingin memeluknya, aku ingin dia tahu aku sedang ada disampingnya saat itu.
Kakak, aku juga merindukanmu. Aku akan menunggumu disini. Kelak kita nanti akan bertemu lagi.
****
Andai saja Tuhan tidak mengambil adik perempuanku, mungkin saat ini aku sedang menemaninya.
Andai saja Tuhan memperlama usianya di dunia ini, mungkin saat ini aku sedang mengajarinya bermain gitar, mengajarinya komputer, mengajarinya mengerjakan tugas kuliah, mengajarinya memotret, mengajarinya memasak, memasang muka sangar saat dia diantar pulang kemalaman oleh pacarnya, mengajaknya bercerita tentang segala yang aku alami seharian di kantor, mendengarkan celotehnya tentang apa saja.
Andai saja Tuhan mengijinkan, aku ingin memeluknya dan menyebut namanya Wina.
Andai saja Tuhan membiarkan aku memiliki adik perempuan.
****
Wina Harianti, adalah nama adik perempuanku, yang meninggal saat ada di dalam kandungan mamaku.
Aku lupa kapan tepatnya dia meninggal, namun saat itu masih duduk di sekolah dasar.
Kadang aku menangis bila ingat saat itu.
Namun aku lebih banyak menangis, karena tidak bisa merasakan memiliki adik perempuan.
Tuhan mempunyai rencana yang lebih indah dibalik kejadian itu.
Adikku Wina, sampai ketemu lagi yah di Sorga.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.