NA : "Wen, kalau memang kamu sudah tidak menemukan kenyamanan di dalam pekerjaanmu, mungkin ada baiknya kamu mulai memikirkan untuk mengundurkan diri, dan mengatur ulang hal-hal apa yang ingin kamu kerjakan."
Wen : "Yah, mungkin saya memang sudah mulai merasa jenuh, sudah mulai tidak bersemangat, namun saya tidak benar-benar tahu apa yang saya inginkan. Meskipun saya punya impian, yang sangat saya inginkan dalam hidup ini, saya kembali berpikir apakah saya bisa melakukannya, dan apakah hal ini tidak akan mengorbankan istri serta anak saya."
NA : "Sebenarnya apa yang kamu risaukan jika kamu mengundurkan diri ?"
Wen : "Saya tidak mungkin munafik dan menampik keadaan, bahwa kami bisa dicukupkan hari ini melalui perusahaan tempat saya bekerja. Nah apabila saya harus keluar, apakah saya tidak memulai segalanya dari nol lagi ?, jujur itu yang saya masih pikirkan. Bagaimana istri dan anak saya ? Bila saja penghasilan istri saya sama dengan saya saat ini, pasti saya tidak akan banyak berpikir, mungkin saya akan segera memilih keluar dan melakukan apa yang ingin saya lakukan."
NA : "Ok, misalkan ada yang mau mengajak kamu bekerja, namun pekerjaan itu mungkin tidak jelas 100%, artinya kamu harus mulai ikut merintis dan bayarannya mungkin kurang sedikit dari pendapatanmu saat ini, apakah kamu mau mengambilnya ?"
Wen : "Mungkin saya akan mengambilnya dan saya berharap pekerjaan tersebut masih berhubungan dengan dunia saya saat ini."
NA : "OK, kalau begitu kamu bisa ikut saya mulai bulan depan. Kamu persiapkan sendiri, apa-apa yang menjadi kebutuhanmu dan kamu bisa menempati ruangan di pojok itu. Aku tahu kamu sangat menyukai view ruangan tersebut. Hahahaha. Mungkin disitu ide-ide dahsyat kamu bisa keluar ya."
Wen : "Hehehe, iya pak. Saya akan bantu bapak sekeluarga, sesuai dengan kemampuan saya."
Dan aku mulai membayangkan jenis komputer seperti apa yang akan menemaniku men-desain, seperti apa nanti rasanya saat aku duduk di ruangan yang aku idam-idamkan.
Membayangkan banyak hal-hal yang menyenangkan saat aku duduk, saat aku berpikir, saat aku lembur, saat aku datang pagi, saat aku membersihkan ruanganku, saat aku bertegur sapa dengan semua anggota keluarga, saat aku ...... semuanya.
Sreeggg.
Aku buka jendela ruanganku dan memandang keluar. Pikiranku yang tidak enak sudah kembali tenang. Rasa sesak di dada kiriku, kuanggap sebagai sakit fisik karena batukku, bukan lagi karena pikiran-pikiran tidak benar yang menggelayutiku.
Semua orang punya masalah, semua orang punya beban hidup, bahkan orang yang terlihat sangat hebatpun. Mereka sama dengan aku, punya masalah. Ah, semoga ini bukan pembelaan diriku, agar aku terus berjalan.
Aku punya Yesus, namun aku sudah terlalu lama menjauh darinya. Saat aku merasa jatuh dan lemah sekali, saat itu pula aku merasa ada sesuatu yang hangat dekat dengan Yesus.
Saat aku merasa semuanya mudah dan bisa aku atasi, saat itu pula aku merasa aku tidak butuh Yesus.
Yesus, maafkan kesombonganku.
Aku benci orang sombong, karena aku benci pada diriku yang sombong.
Yesus, maafkan iri hatiku.
Aku benci dengan diriku yang ternyata iri hati dengan apa yang telah dilakukan orang lain.
Yesus, maafkan pikiran-pikiran jahatku.
Aku benci dengan pikiranku, yang selalu berceloteh tak tentu ujungnya.
Yesus, maafkan aku karena selalu meminta mukjizat kesembuhan dariMu.
Aku hanya tahu, dengan mukjizatMu sajalah, aku bisa sembuh dari deritaku saat ini.
Yesus, maafkan aku karena susah sekali mengucap syukur untuk segala hal.
Aku kadangkala hanya suka mengucap syukur untuk apa yang telah aku terima, bukan untuk apa yang akan aku terima.
Jujur Yesus, sesak sekali rasanya. Bahkan saat aku menuliskannya. Seperti ada bagian dari diriku yang ingin berontak, yang ingin cepat selesai, yang ingin pecah dari kepalaku.
Yesus, aku tidak mau menyerah dengan apa yang aku alami. Aku tidak mau Setan mentertawakanMu, karena aku. Meskipun aku terseok, Yesus, aku tetap berserah kepadaMu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.