Beberapa hari yang lalu, istriku dipanggil oleh wali kelas tempat anakku bersekolah. Dari SMS yang dikirimkan istriku, sesaat setelah selesai pertemuan, aku tahu anakku mungkin tidak bisa naik kelas.
Beberapa minggu yang lalu, anakku telah berusaha untuk belajar untuk menghadapi ujian akhir semester. Kadangkala terlihat rasa letih di matanya, bahkan pernah aku jumpai dia sampai tertidur saat belajar. Dalam hati aku berkata, bila ini adalah usaha terbaikmu, aku dukung kamu apapun hasilnya, anakku.
Beberapa bulan yang lalu, kami bertiga pernah terlibat pembicaraan yang cukup serius tentang sekolah Daniel. Aku teringat, aku pernah berkata kepadanya, "Daniel, bila terpaksa kamu tidak naik kelas, Papa harap kamu tidak malu.
Malu kepada teman, malu kepada saudara, malu kepada siapapun."
Dan mungkin, kata-kataku ini diterjemahkan secara berbeda oleh anakku, Daniel.
Kemarin.
Aku ajak istriku dan anakku berdiskusi sejenak. Rupa-rupanya, istriku telah memberitahukan hasil percakapannya dengan wali kelas kepada Daniel.
Aku berkata kepada Daniel, "Jujur Papa ada rasa kecewa bila Daniel sampai tidak naik kelas, namun seperti Papa bilang dulu, Papa dan Mama akan selalu dukung Daniel, selama itu positif dan merupakan hasil kerja keras Daniel."
Kulihat mimik muka Daniel sedikit berubah. Jujur aku tidak tahu apa yang dia pikirkan. Memang biasanya aku tanyakan kepada Daniel tentang apa yang dia rasakan, namun kali ini tidak. Aku memilih agar dia tahu uneg-unegku saat ini.
Aku lanjutkan perkataanku.
"Kalau misalkan kamu naik kelas, maka kamu harus ngoyo dan sangat-sangat bekerja keras untuk bisa lulus. Papa ibaratkan, kita diberi waktu setengah jam untuk bersepeda dari Sukun ke Tidar. Namun kamu memilih untuk berjalan santai terlebih dahulu. Saat waktu sudah mulai menipis, kamu harus mengejarnya agar bisa tepat waktu sampai di Tidar, yang jalannya juga menanjak.
Sama seperti saat kamu kelas 1 sampai kelas 5. Kamu terlihat santai sekali, nah apabila kamu diberi kesempatan untuk naik ke kelas 6, maka waktumu sudah menipis, sedang jalanmu semakin menanjak.
Dan Papa yakin, kamu harus mengejar banyak hal agar kamu bisa lulus."
Aku terdiam sejenak.
"Mungkin akan berbeda keadaannya apabila kamu, ngoyo dulu dari kelas 1 sampai dengan kelas 5. Itu akan menjadi kebiasaan yang baik, sehingga kamu tidak lagi ngoyo saat di kelas 6. Karena kamu sudah melakukannya di kelas 1 hingga kelas 5. Sama kan dengan kita naik sepeda. Di awal kita ngoyo, setelah hampir finish, kita bisa agak santai."
Kemudian aku mengingatkan dia, betapa bangganya dia saat dulu bisa mendahului seorang anak, mungkin SMP, yang saat itu menaiki sepeda di medan tanjakan. Dengan sepenuh tenaga, dia mendahului anak tersebut. Dan saat tiba di atas, dia terlihat senang sekali. Meskipun dengan napas yang "ngos-ngosan".
Sejenak kami terdiam.
"Papa dan Mama pasti dukung kamu. Kami tidak henti-hentinya berdoa. Jujur Papa kuatir jika kamu naik kelas, apakah sanggup kamu mengejar ketertinggalan kamu ? Namun bila kamu tidak naik kelas, apakah kamu juga sanggup menghadapi rasa malu, dan mau memperbaiki diri sendiri ?
Mungkin bila kamu tidak naik kelas, akan menjadi lebih baik. Siapa tahu kamu malah akan bisa meraih ranking 1. Bukankah pelajarannya sama saja, dan kamu sudah pernah mengalaminya, mestinya bisa lebih baik dong.
Jadi kalau ada orang tanya, kamu bisa jawab, memang aku ndak naik kelas, tapi sori jek, saiki rangking 1, hahahaha."
Candaku sesaat untuk mencairkan suasana.
Obrolan kami tidak berhenti disitu, aku masih terus berusaha memompa semangatnya. Aku selalu katakan, Daniel sudah sangat lebih baik dari Papa dahulu. Pasti Daniel bisa menjadi seseorang yang lebih baik juga daripada Papa saat ini.
Tuhan, jujur aku bukan orang tua yang baik, yang bisa jadi pemimpin untuk istri dan anakku.
Karena saat inipun aku juga tengah berjuang untuk memperbaiki "kerusakan-kerusakan" di dalam diriku.
Saat ini, aku bisa menyadari, semua orang punya masalah dan beban sendiri-sendiri.
Aku, istriku dan anakku. Kami hanya bisa saling mendukung, kami hanya bisa saling membantu, kami hanya bisa saling mendoakan. Tidak bisa lebih.
Aku mempunyai masalah dengan diriku dan kehidupan sosialku, istri dan anakku hanya bisa mendukungku untuk bisa tuntas dari masalah tersebut dan membantu dengan apa-apa yang bisa mereka kerjakan. Karena masalah itu adalah masalahku. Demikian juga dengan istriku dan anakku.
Terima kasih istriku dan anakku.
Khusus untuk anakku, teruslah berjuang.
Daniel belum berakhir saat dikalahkan, tapi Daniel akan benar-benar kalah saat berhenti.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.