Hubungan komunikasi antar manusia tidak bisa dipungkiri, meskipun kecil kapasitasnya, pasti akan melibatkan "emosi". Emosi-emosi tersebut terbentuk saat kita mulai melakukan percakapan, gerakan tubuh, bahkan saat kita hanya sedang berpandangan mata, tanpa melakukan aktifitas lainnya.
Contoh 1 :
Si A berkenalan dengan si B melalui si C yang lebih dahulu mengenal mereka berdua. Ini merupakan contoh komunikasi melalui percakapan, yang biasa kita lakukan sehari-hari.
Contoh 2 :
Si A melambaikan tangan kepada si B yang baru saja turun dari kereta api. Maksudnya, si A memberitahu si B tentang keberadaannya dan meminta si B untuk datang kepadanya.
Hal ini juga merupakan contoh sederhana komunikasi melalui gerakan tubuh.
Contoh 3 :
saat sedang menaiki sepeda motor dengan kecepatan tinggi, si A berpapasan dengan si B yang sedang memelototinya dari pinggir jalan, karena merasa terganggu. Merasa tidak enak, si A menghentikan laju kendaraannya, lalu turun dari kendaraan bermotornya dan serta merta menempeleng si B.
Yah, ini bukan contoh yang baik, namun ini juga menunjukkan, bahwa dengan mata saja, manusia sudah dapat berkomunikasi dengan cukup baik. Bukankah Anda tidak membaca, si B menantang si A untuk berkelahi dengan mengacungkan tangan? Bukankah Anda juga tidak membaca bahwa si B berteriak kepada si A ?
Hanya dengan pandangan mata saja. :)
Komunikasi yang baik membutuhkan lebih dari 1 pihak, karena bila komunikasi dilakukan oleh 1 pihak saja, mungkin bisa disebut sebagai "nggremeng", "ngedumel", "nggerundel", dan lain sebagainya. Namun tanpa disadari, komunikasi membuka satu celah yang disebut sebagai emosi.
Emosi dalam bentuk apapun juga, emosi kedekatan satu dengan lainnya, emosi ketidaksukaan, emosi intimidasi, emosi untuk menguasai, dan lain-lain.
Masing-masing emosi tersebut memiliki konsekuensi yang lebih kurang sama dan emosi-emosi tersebut selalu membawa serta rekan-rekannya, antara lain, rasa senang, rasa dekat, rasa memiliki, rasa marah, rasa iri, rasa dengki, dan segala macam rasa lainnya. Hal ini tidak bisa kita hindari, karena meskipun manusia diciptakan sebagai makhluk sosial, namun masing-masing manusia terbentuk dari pondasi dan struktur yang berbeda-beda. Bisa dibawa dari keluarga semasa kecil hingga dewasa, ataupun pengalaman hidup masing-masing yang secara langsung membentuknya.
Khusus tentang emosi yang membawa berbagai macam hal negatif, kita memerlukan pena dengan tinta putih. Sesuatu tentang tinta putih ini, saya dengar melalui kotbah Philip Mantofa. Garis besar penggunaan pena dengan tinta putihnya sama, namun kita coba lakukan dalam aspek komunikasi.
Tulislah kebaikan orang lain dengan tinta hitam, namun tulislah keburukannya dan kejahatan yang diperbuatnya kepadamu dengan tinta putih. Masing-masing di atas kertas putih, lembaran demi lembaran hati dan pikiranmu.
Tuliskan kebaikan orang lain diatas batu, namun tulislah keburukan dan kejahatannya di atas pasir laut.
Sulit ? Sangat ... inilah mengapa Yesus mengajarkan kita untuk mengampuni orang lain 70 x 7 kali
Matius 18:22
Yesus berkata kepadanya: "Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.
*** Jujur aku belum bisa melakukannya dengan pemahaman yang benar.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.