Jumat, 21 Oktober 2011

Bagimu imanmu, bagiku imanku.

Cukup lama aku menunda untuk menulis ide tentang iman, bukan karena malas, namun lebih banyak karena pekerjaan-pekerjaan yang minta untuk didahulukan. Tetapi dorongan untuk menuliskan ide lama ini terus menerus mencuat, hingga pagi ini, 18 Oktober 2011 aku mulai menuliskannya. Dengan diiringi lagu-lagu dari Jeffry S Tjandra, aku mulai menuliskannya. Aku mulai yah :)

Dalam benakku, terlintas pertanyaan yang mungkin saya tidak yakin jawabannya, mungkin saya butuh jawaban dari pembaca, mungkin juga tidak akan pernah terjawab sampai kita "game over" (meminjam istilah kawanku Diana VR).
Pertanyaannya adalah ; "Iman, apakah anugerah atau pilihan manusia ?" pertanyaan tersebut kemudian berlanjut menjadi "Apabila iman adalah anugerah, apakah yang dapat diperbuat oleh manusia ? Menunggu ?", dan "Apabila iman itu adalah pilihan, salahkah aku bila memilih sesuatu berdasarkan garis batas imanku saat itu ? Berdasarkan pemikiranku ? Berdasarkan hati nuraniku ?". Lalu akan semakin berlanjut menjadi "Bila iman itu adalah anugerah atau adalah pilihan, bagaimana mungkin manusia saling mengukur iman manusia yang lain ? Dan menetapkan bahwa mereka itu beriman atau tidak beriman ?".




Sesuatu pertama ...

Aku mencintai istriku, Aning. Kami telah menjelajahi setiap hari yang diberikan Tuhan kepada kami dengan penuh sukacita, dukacita, asam, manis, getir, pahit dan berbagai macam rasa lainnya. Dan tak terasa telah lebih dari 12 tahun kami mengoleksi waktu Tuhan dalam hidup kami. Cinta yang kami rajut mungkin bukan cinta terbaik seperti yang dimiliki oleh orang lain, namun kami yakin ini adalah yang terbaik bagi kami.
Saat kami mendapati kesukacitaan, kami tetap saling berpandangan dan bergandeng tangan dalam kesatuan hati. Namun pada satu waktu, aku terjatuh dalam dosa dan merasakan kepahitan yang teramat sangat. Lumpur dosa itu sedemikian beratnya, sehingga untuk keluar bukanlah hal yang mudah, semudah teori Einstein. Rasa sesak dan pengap menghinggapi napasku setiap pagi, siang, sore dan hingga malam menjelang.
Aku putus asa. Aku mulai menanyakan dimanakah istriku saat itu ? Mengapa aku sampai masuk dalam lumpur dosa ini ? Aku terus menyalahkan dia sebagai penyebab kejatuhanku. Hingga akhirnya, dia datang dengan penuh kasih sayang dan cinta yang tulus dia berikan kepadaku, hingga aku mulai terangkat dari lumpur dosa. Dia bersihkan lumpur-lumpur yang masih menempel di badanku dengan perlahan. Dia obati luka-luka yang ada di sekujur tubuhku, dengan cinta. Sehingga aku bisa pulih kembali, aku bisa mulai merasakan cintanya yang tulus dan mungkin aku mulai bisa mengucapkan terima kasih kepadanya untuk semua sukacita, dukacita, manis dan pahitnya kebersamaan kami.

Aku beriman kepada Tuhanku, Yesus Kristus. Kami telah saling mengenal sejak aku masih di dalam kandungan. Dari hari ke hari, semua hal boleh aku alami bersama Tuhanku. Saat aku bersukacita, aku bersyukur kepadaNya. Saat aku berdukacita, aku memberikan komplainku kepadaNya. Saat aku merasakan manis, aku tersenyum kepadaNya, namun saat aku merasakan pahit, aku mulai cemberut kepadaNya. Dan tak terasa sudah 30 tahun lebih aku bersahabat dengan Yesus. Dia mengenalku lebih dari aku mengenal diriku sendiri. Dia mencintaiku lebih besar daripada cintaku kepadanya. Hingga suatu saat aku jatuh ke dalam dosa. Dan saat itu aku berteriak dengan lantang dan keras dalam tangis, "Yesus, dimanakah Engkau Tuhan, saat ini ? Mengapa Engkau membiarkanku jatuh ke dalam dosa ? Mengapa Engkau tidak menolongku ?". Cuma Yesus yang kupunya, yang kepadanya aku berteriak dengan lantang dalam kemarahan, dalam kesedihan, dalam kesukaan, dalam berbagai peristiwa yang terjadi dalam hidupku. Tapi dimanakah Yesusku saat ini ?. Hingga Dia datang dengan penuh kemuliaan dan mengangkatku kembali dalam naungan kasihNya. SenyumNya seolah-olah berkata, "Hai Aku disini dan senantiasa akan ada disini, setiap saat kau membutuhkan Aku". Satu senyuman yang merubah seluruh hidupku. Satu senyuman tanpa kata yang menggetarkan sendi-sendiku. Dan aku kembali dipulihkan. Hatiku siap untuk menempuh jalan hidup yang terbentang di hadapanku, siap untuk bersyukur kepadaNya atas semua sukacita dan siap untuk mulai belajar bersyukur dalam dukacitaku. Aku mulai lagi berjalan bersamaNya.



Sesuatu kedua ...

Hampir setiap pagi hari saat aku akan berangkat menuju tempat kerja, aku selalu menunggu "nunutan". Berharap kepada siapapun ada yang menghentikan kendaraannya untuk aku tumpangi. Kasihan sekali yah :)
Proses dan skenario menunggu yang aku alami, kira-kira seperti ini :
1. Aku menunggu pukul 7.00, biasanya aku menumpang, sebut saja Pak Hengky.
2. Aku menunggu pukul 7.00, namun Pak Hengky belum juga kelihatan, akhirnya pukul 7.15 aku menumpang, sebut saja Mas Joko.
3. Aku menunggu pukul 7.00, Pak Hengky belum terlihat, akhirnya pukul 7.13 aku melihat Mas Joko, namun ... Mas Joko tidak melihatku, sehingga aku harus menunggu hingga tumpangan berikutnya. Sekitar pukul 7.26, sebut saja Mas Ari, akhirnya mengajakku untuk bersama.
4. Aku menunggu pukul 7.00 dan berharap aku bisa bersama Pak Hengky, namun ternyata yang mengajakku adalah, sebut saja Mas Mul.
5. Aku menunggu pukul 7.30 dan telah menelpon seorang kawanku sebelumnya, sebut saja Mas Aan, dan dia menjemputku tepat di depan pagar rumahku.
6. Aku menunggu pukul 7.15 berharap bisa menumpang Mas Joko, ternyata Pak Hengky yang datang.

Imajinasiku tentang pertolongan Tuhan.
Kadangkala aku yakin inilah pertolongan dari Tuhan, kadangkala aku yakin mungkin pertolongan dari Tuhan belum saatnya, kadangkala Tuhan menjawab permintaan tolongku tepat seperti yang kuminta, kadangkala Tuhan meyakinkan aku bahwa dalam kondisi menunggu pun aku juga harus bersiap-siap. Kira-kira Tuhan, apalagi selanjutnya ? Hehehehe :)



***


Adakah persamaan antara cinta dan iman ? Apakah keduanya adalah anugerah ? Apakah keduanya adalah pilihan ? Ataukah keduanya adalah anugerah yang akan kita pilih untuk kita jalani ?

Yohanes 15:16 Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Adakah artinya bagi pembaca yang menggeluti Alkitab setiap detiknya ?

Ibrani 11:1 - 3 Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.
Sebab oleh imanlah telah diberikan kesaksian kepada nenek moyang kita.
Karena iman kita mengerti, bahwa alam semesta telah dijadikan oleh firman Allah, sehingga apa yang kita lihat telah terjadi dari apa yang tidak dapat kita lihat.


Aku mencintai istriku, bahkan saat aku jatuh dia tetap menemani aku dan semakin terasa besar kekuatan cintanya kepadaku.
Aku beriman kepada Yesusku, bahkan saat aku mulai meninggalkanNya dan mulai mempertanyakan imanku kepadaNya, Dia tetap mengasihi aku, membuat pengenalanku semakin bertambah.

Jika aku meyakini cintaku adalah yang terbaik bagi aku dan istriku, bolehkah aku meyakini imanku adalah yang terbaik bagi aku dan Tuhanku ?

Jika ini adalah cinta yang terbaik, yang kami miliki, mengapa manusia lain harus mempertanyakannya ? Mengapa manusia lain harus mempergunjingkannya ?
Jika saat ini, disinilah garis batas imanku untuk Tuhanku, untuk apa manusia lain menanyakannya ? Untuk apa manusia lainmembandingkannya ?

Cintaku adalah hakku untuk istriku, imanku adalah milikku untuk Dia. Cuma istriku yang tahu, hanya Tuhanku yang mengerti.

Cinta dan iman bukanlah permainan belaka, permainan imajinasi, permainan pikiran, permainan alam bawah sadar.

























Pelajaran kehidupanku belumlah lagi usai, namun kadang ada orang-orang usil bin jahil yang menginginkan aku agar bisa seperti mereka. Kadang ada pula yang meremehkan pelajaran yang aku dapat, tanpa mereka sadari bahwa hal itu cukup menimbulkan efek yang menyakitkan untukku. Namun pada akhirnya, dengan berat hati, aku menganggapnya sebagai bagian dari pelajaran hidupku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

 
;