Jumat, 07 Oktober 2011

Grejaku bukan Gerejamu ... Grejaku sayang, grejaku malang

Apa yang kutulis ini adalah sesuatu yang aku alami, bukan merupakan penilaian semata, bukan pula rekaan dan rekayasa. Aku tidak menuliskannya untuk membandingkan dengan gereja lain, namun secara tidak langsung, siapapun yang membaca akan mempunyai gambaran pembanding, baik karena pengalaman sendiri, maupun pengalaman orang lain.
Aku menulis ini bukan sebagai luapan emosiku, namun lebih kepada jeritan pikiranku yang merasa kurang pas dengan semua yang aku alami, di Grejaku. Jadi sori yah kalau ada kata-kata yang pedas, tapi bukankah yang pedas itu yang bikin pengen lagi. Hehehe :)

Pengalaman pertamaku bersekolah Minggu,
aku alami saat masih duduk di kelas 5 SD. Sedikit terlambat untuk mengenal sekolah Minggu, namun cukup menyenangkan bagiku, karena aku memiliki kawan-kawan baru. Yang kuingat saat aku datang ke sekolah Minggu adalah pengajar-pengajarku. Mereka mengajariku bernyanyi, mereka mengajakku tampil di depan dan masih banyak lagi kegiatan yang menyenangkan, .... saat itu.

Saat aku sudah di kelas 6, aku mulai ikut kelas remaja, yang seharusnya baru boleh aku ikuti saat aku telah duduk di kelas 1 SMP. Namun karena, kebanyakan kawan-kawanku sudah beranjak remaja, akhirnya aku ikut-ikutan saja, toh pengajarnya juga itu-itu saja, pikirku. Dan sepertinya aku terlalu "gede" untuk masih menetap di kelas anak-anak.
Di kelas remaja, hal-hal yang tidak pas di pikiranku mulai bergejolak. Entah karena usiaku yang sedang "mbingungi" atau jiwa pemberontakku yang tidak bisa terbendung namun juga tidak bisa tersalur.
Jelas di memoriku, seorang pengajar, anggap guru sekolah Minggu, yang sudah beberapa kali "menghina" cara orang lain dalam bergereja, misalnya dengan kata-kata "harusnya cukup bilang amin saja, gawe opo kathik bilang amien". Kadang dia juga menceritakan pengalaman-pengalaman "rohani"-nya yang terlihat hebat bersama istrinya. Dan itu bisa terjadi beberapa kali dalam sebulan. Kok bisa terjadi beberapa kali dalam sebulan ? Iya, karena dia bisa mengajar di Minggu 1 dan Minggu 3, saat pengajar lain berhalangan untuk hadir.

Lain lagi dengan pengajar satunya. Yang ini lebih unik, dia senang bercerita tentang pengalaman "magis"-nya. Pengalaman kehebatan dia dalam menangkap maling hanya dengan menunjukkan jarinya saja, woooow. Dan sering diberi bumbu serta resep yang agak aneh menurut cara pikir anak seusiaku, saat itu. Misalnya, kalau kalian berdoa, akan lebih baik jika berdoa di luar rumah atau paling tidak dengan cara kaki secara langsung menginjak tanah. Tidak percaya ? Percayalah, karena hal ini pernah mendapat reaksi "kerutan spontan" dari salah seorang temanku, yang saat itu aku undang untuk persekutuan di rumah dan pengajarnya adalah "sang guru magis". Akibatnya, kawanku tersebut pulang meninggalkan persekutuan yang belum usai.

Pengajar ketiga yang aku ingat, adalah pengajar yang amat sangat punya prinsip dan nilai-nilai, yang sangat tidak ingin prinsip-prinsipnya atau nilai-nilainya itu luntur karena itu adalah prinsip dan nilai murni Greja kami, menurut dia. Contoh prinsip yang sering dia kemukakan adalah, Grejaku sangat tidak cocok, apabila beribadah dengan bertepuk tangan, karena itu seperti Gereja lain. Masih berhubungan dengan ibadah, hal kedua adalah tentang tata cara bermusik, secara halus mengatakan sudah cukup diiringi dengan gitar, tidak perlu alat musik lain yang hanya menimbulkan keramaian, misal ketipung. Yah kalau organ itu standartlah, tidak mungkin rasanya dihapus.
Dan satu hal lagi yang masih aku ingat, yang mengakibatkan aku sedikit dijauhi dan sering jadi bahan sindiran, adalah pengajar ketiga ini sering memprotes teman-temanku yang ke Greja dengan mengenakan celana jins, dengan alasan celana jins itu adalah pakaian para koboi di Amerika, bukan untuk dipakai ke Greja. Aduh, kalau ingat itu, rasanya malu campur aduk. Bagaimana tidak malu, "wong" pengajarnya adalah Papaku sendiri dan aku selalu pakai celana kain ke Greja, karena aku tidak punya celana jins yang pantas saat itu. Malu bener :(


Dari remaja, aku mulai naik ke jenjang pemuda. Mungkin aku tidak perlu menceritakan lebih detil pengalaman-pengalaman pemuda di Grejaku, mungkin sama dengan Gereja lain, yang berbeda hanyalah ; romansa cintanya, ngumpul-ngumpul dan minum, menganggur, idealis yang tidak tersampaikan, kemarahan yang tidak perlu, serta semangat membara yang kurang pada tempatnya.
Yah, pemuda tidak bisa lepas dari percintaan. Aku sendiri mengalaminya. 3 cewek Grejaku menjadi "korban"-ku. Yang terakhir, aku "paksa" untuk menjadi istriku, heheheh :) Sama dengan pemuda lain di Grejaku. Putus dengan yang satu, "nyambung" dengan yang lain, sebelum akhirnya dinikahi.
Ngumpul-ngumpul dan minum, mungkin bukan murni eksploitasi pemuda di Grejaku, namun itu juga bukan merupakan rahasia, atau anggap saja rahasia umum. Toh kalau mau membela diri, mereka tidak melakukannya di Greja dan mereka tidak mengganggu masyarakat luas, hanya sebagai rahasia umum, that's all :)
Menganggur adalah salah satu urusan yang berhubungan dengan hal di atas. Karena terlalu senang untuk "ngumpul", mereka mengorbankan kesempatan untuk bekerja keras demi kehidupan mereka sendiri. Bahkan, saat beberapa pemuda sudah mulai sadar dan akhirnya mereka mulai mau bekerja, masih ada satu sosok pemuda yang tetap seperti itu-itu saja, meskipun dia bukan warga asli Greja kami. Untung ya :) tapi tidak ngaruh tuh :)

Idealis yang tidak tersampaikan, mungkin hanyalah sebagian kecil ganjelan di hati yang tidak tersalurkan. Saat itu aku diberi tanggungjawab untuk menjadi Ketua Sie Dana Pemuda, diberi tanggung jawab tanpa ada pilihan untuk berkata tidak. Sie Dana, harus berpikir dan bekerja untuk menyediakan dana bagi keberlangsungan kegiatan pemuda di Grejaku. Misal membuat retreat, dengan total anggaran yang dibutuhkan adalah 5 juta, maka kami harus mencari dana kurang lebih sekitar 2,5 juta dan Greja akan membantu 2,5 juta juga. Wooow, mantap yah. Kegiatan yang aku lakukan tidak lebih dari, jualan pernik-pernik Greja, jualan kue natal door to door, sambil mengharap belas kasihan orang-orang Grejaku yang berlebih (setelah dapat info dari sana sini, hehehe ), membagikan celengan ke setiap pemuda dengan harapan mereka rajin mengisinya setiap hari (tapi kenyataannya, baru diisi saat celengan akan diambil, hehehe), jualan makanan, dll. Sayangnya saat itu, aku belum belajar trik marketing, hehehe, jadi benar-benar tidak tahu, apa yang harus kulakukan.
Dan yang mengesalkan, yang akhirnya membuat aku mengundurkan diri dari kepengurusan pemuda adalah saat salah seorang Majelis di Grejaku yang meminta, agar uang hasil penjualan makanan dan pernik-pernik Greja tersebut, dihitung di tempat, di hadapan teman-teman yang lain. Jiamput, dipikirnya apa aku akan "ngenthit" ? Bahkan uang bensinpun, aku tidak minta sepeserpun. Hasil 10% yang diberikan oleh tempat aku mengambil barang dagangan pun, aku laporkan secara utuh. Benar-benar berat saat itu. Sekali lagi ... jiamput tenan kok.

Dan kemarahan yang tidak perlu adalah salah satu hal yang aku ingat sebagai penutupnya. Buatku, organisasi Greja hanyalah organisasi biasa, yang seharusnya tidak memerlukan target resmi seperti jika aku bekerja di perusahaan. Seharusnya segala hal bisa diupayakan dengan jalan damai, jalan sukacita, jalan yang menyenangkan bagi semua, hampir-hampir dan sangat tidak perlu untuk marah-marah tidak karuan. Namun hal itu terjadi.
Aku ingat saat melakukan dekor untuk acara Greja, ada kejadian menggelikan yang aku lihat. Salah seorang pendekor "ngamuk-ngamuk" tidak karuan, karena salah satu hasil dekornya rusak karena ketidak tahuan salah seorang pemuda yang membersihkannya. Sebenarnya panjang ceritanya, namun cukup aku potong disini saja. Karena intinya hanyalah, kemarahan yang tidak perlu, mungkin sebagai simbol ketidakdewasaan, mungkin karena sering kumpul-kumpul tidak berguna, mungkin karena ingin tampil, mungkin karena ... pikir sendiri saja yah :)

Dengan semakin berjalannya waktu, aku tidak melihat ada perubahan yang signifikan dari Grejaku. Aku tidak berharap mereka kehilangan "ciri khas"-nya, aku tidak berharap mereka melupakan "nilai-nilai" nenek moyangnya, aku pun tidak berharap mereka menjadi sosok "tanpa prinsip", namun bolehkah aku berharap, bahwa mereka bisa belajar di luar kotak yang selama ini membatasi mereka ? Don't think outside the box (only), but do outside the box (yuukk).

Masih banyak kejadian-kejadian setelah aku "mengeluarkan" diriku dari lingkungan tersebut. Misalnya, kasus seseorang yang berkeinginan menjadi Pendeta, namun akhirnya dia bermasalah karena dianggap berselingkuh dan mungkin menghamili orang lain di tempat dia menggembalakan. Sanksinya ? Dia harus melakukan serangkaian ritual, yang dalam bahasa jawanya disebut "Pamerdi". Meskipun versi yang aku dengar, dia menyangkal melakukan perbuatan tersebut. Hmmm, logikaku berputar, lah kalau ente memang tidak melakukannya, ngapain juga ente mau melakukan "ritual" tersebut. Mundur saja toh. Kalo ente mau melakukan "ritual" tersebut, sama saja dengan ente mengakui perbuatan ente kan ? Sori, ente orang pintar, bahkan ente yang "memaksa" ane dulu untuk jadi pengurus. Sekarang ???



Protesku ....

Seorang pengajar Sekolah Minggu, bukanlah orang-orang biasa. Secara iman, mereka dipilih oleh Tuhan, secara manusia mereka diajak atau dipilih oleh rekan-rekannya yang telah terlebih dahulu "nyemplung" di arena anak-anak, remaja dan pemuda. Jelas itu bukan tanggung jawab yang kecil. Jika salah sedikit saja dalam menyampaikan sesuatu, akan terekam dalam memori anak-anak tersebut sepanjang hidupnya (ndak usah jauh-jauh deh, contohnya aku sendiri, hehehe ).
Mungkin akan lebih baik jika mereka tidak hanya dibekali pengetahuan alkitabiah, pengetahuan sejarah, pengetahuan menyanyi, namun juga dibekali pengetahuan tentang anak-anak di masa kini dan di masa yang akan datang. Ikutilah seminar, ikutilah kegiatan yang berhubungan dengan anak-anak, sehingga para pengajar bisa memperoleh wawasan baru, bukan wawasan turun temurun. Apalagi jika wawasan turun temurun itu akhirnya diturunkan lagi kepada anak-anak yang masih polos, yang masih mencari jati diri dan masih mencari sosok yang dapat dianut serta dipanut. Kapan berubahnya ? Mbuletisasi lagi dong :)
Ajaran-ajaran tanpa alasan yang jelas, mungkin lebih baik kita telusuri lagi. Contoh mudah, seorang pengajar meminta anak kecil memberi sesuatu kepada orang lain dengan "tangan manis", dengan "tangan baik" tanpa menjelaskan alasan dan maksudnya. Sayang aku kecil belum kritis seperti sekarang, mungkin kalau aku kecil dulu "diberi" dan "diajari" untuk kritis, aku akan berkata "Lho, kok ada tangan manis dan tangan bagus (tangan kanan), kalau gitu tangan satunya tidak bagus donk (tangan kiri), dipotong saja yah ?". Jujur, aku dulu sempat berpikir, apa karena tangan kiri hanya aku pake untuk cebok yah ??? Hehehe.
Coba beri penjelasan yang lebih up to date. Dulu mungkin belum ada internet, tapi seingatku seminar-seminar tentang anak sudah ada. Penelitian demi penelitian tentang perkembangan jiwa anak juga banyak. Baca, bacalah. Aku yakin, jika pengetahuan alkitab dan sejarahnya pasti sudah "ngelontok" di kepala para pengajar, namun pengetahuan tentang jiwa anak-anak, tentang cara berpikir anak, apakah sudah diketahui juga ?
Dulu tidak terkenal istilah autism, namun sekarang ? So, please, update your mind and your concept. Jadilah beda, jangan takut untuk menjadi berbeda.

Di sisi organisasi, rasanya orang-orang di Grejaku tidak kalah mumpuni dalam hal tata cara dan tata pranata organisasi. Jika memang mau dibuat serius, sekalian saja dibuatkan SOP (Standart Operation Procedure) bagi setiap komisi. Namun jika tidak mau dibuat terlalu "serius pabrikan", mungkin ada baiknya hal-hal yang tidak perlu bisa dikesampingkan. Terutama dalam hal yang menurut aku, amat sangat sensitif, penggunaan dana. Apakah harus dibentuk tim KPK di Grejaku ? Aku rasa tidak perlu. Namun, tindakan-tindakan yang tidak perlu itulah yang akan memancing reaksi orang untuk melakukan tindakan yang tidak sepatutnya. Sekali lagi masalah uang. Contoh, (ini hanya kejadian fiktif, bila ada persamaan orang maupun kejadian, hanyalah kebetulan yah, hehehe), Sie A mengajukan anggaran untuk kegiatan retreat sebesar 5 juta. Ok, disetujui dengan syarat Greja hanya akan mengeluarkan uang kas sebesar 3 juta saja, yang 2 juta harus diusahakan dengan jerih payahnya sendiri. Sie A, memutar otak, agar kegiatannya tidak melebihi angka 5 juta, bahkan sebisa mungkin hanya kisaran 3 juta, agar tidak susah mencari kekurangan dananya. Sie A bisa melakukan "pengeprasan" kegiatan, misalnya yang seharusnya mengundang pembicara yang kompeten sebanyak 3 orang, menjadi cukup hanya 1 orang saja. Atau dengan berjalannya waktu, Sie A akan melakukan mark up rencana anggaran kegiatan di tahun-tahun berikutnya. It's a simple way, right ?
Lalu apa bedanya Greja dengan organisasi di luar sana ? Mark up ada, pengeprasan kegiatan juga ada, sama dong ? Belum hal-hal kecil lainnya yang membuat tidak ada bedanya antara organisasi Greja dengan organisasi lainnya. So, please, update your mind and your concept. Jadilah beda, jangan takut untuk menjadi berbeda.
Hei hei hei, ingat ... ini hanya kejadian fiktif, bila ada persamaan orang maupun kejadian, hanyalah kebetulan saja yah, hehehe.

Pendewasaan diri juga bukanlah hal yang sepele. Dari kejadian kemarahan yang "luar biasa", yang terekam di ingatanku, aku yakin, bila saat itu sosok orang tua yang "berkeliaran" di sekitar arena bisa mendinginkan suasana dan tidak terbawa suasana karena penilaian subyektif semata, i'm sure, kejadian itu tidak akan bergulir. Semua dingin, semua bisa menerima, semua tetap tersenyum, meskipun senyumnya sedikit getir-getir ditahan. Namun, akan menjadi kenangan yang manis untuk generasi penerusnya, yah contohnya aku lagi lah. Bukankah aku merekam kejadian yang "luar biasa" tersebut sebagai kenangan yang buruk ?


Satu lagi sebelum aku tutup, aku ingat beberapa orang telah mengecapku sebagai orang yang sombong. Mungkin hanya karena "ngumpul-ngumpul" dan tidak berbaur dengan "pendatang baru", itu juga PR. Di satu sisi, "ngumpul-ngumpul" dengan orang yang telah klop itu menyenangkan, namun di sisi lain menjadi pagar pembatas bagi "pendatang baru". Jujur aku tidak punya solusi untuk hal ini, karena mantan pacarku, yang saat ini menjadi istriku pun juga berpendapat demikian, dan aku yakin dulu .. dulu sekali .. kejadian ini pernah terjadi. Dan kejadian ini terjadi serta berulang lagi, karena .... mbuletisasi ... yang aku tulis di atas.

So, please, update your mind and your concept. Jadilah beda, jangan takut untuk menjadi berbeda. Bukankah kita semua diciptakan berbeda-beda ?



Sori yah, kalau tulisanku agak pedas, ini cuma kripik pedas saja kok, bukan kritik pedas, dan aku rasa tidak sepedas kripik Mak Icih yang terkenal itu. Hehehe. Jiayou.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

 
;