Judul tulisan ini terinspirasi dari sebuah audio karya Anthony Dio Martin, Vampire Emotion. Di dalam audio tersebut, beliau menjelaskan secara gamblang tentang keberadaan orang-orang yang bisa menjadi pemicu terjadinya konflik emosi di dalam diri kita, atau bahkan diri kita sendiri yang secara tidak sadar telah menjadi penyedot emosi bagi orang lain. Hal ini mudah terjadi karena kita tidak hidup sendiri di muka bumi ini.
Dan boleh percaya, boleh tidak percaya, tapi harus percaya .... saya mengalaminya dan sedang belajar untuk mengelolanya. Dan saya berani katakan, ini adalah proses yang sulit bagi orang-orang seperti saya. Mungkin tidak bagi Anda :)
Dalam kehidupan pekerjaan saya, tidak mungkin bagi saya untuk mengatur ritme orang-orang yang lalu lalang di sekitar saya. Tidak mungkin juga bagi saya untuk merubah apapun yang ada di dalam diri mereka yang tidak saya sukai, demikian juga hal itu berlaku untuk saya.
Namun tak dapat saya pungkiri bahwa ritme mereka kadangkala mengganggu pola berpikir saya, entah itu mereka sadari ataupun tidka mereka sadari, karena hal itu sudah tertanam lama di dalam diri mereka dan telah tumbuh menjadi kebiasaan.
Contoh : karena sedang ada masalah di rumah, si mbak Anu masuk ruangan dengan muka kucel, bibir mlesek, hidung pesek (lho kok jadi ke fisik ... hehehe), sambil membanting tasnya ke atas kursi. Lalu duduk di kursi, menyalakan komputer dengan wajah yang masih semrawut. Secara tidak dia sadari, hal ini membuat teman-teman satu ruangannya ikut mengernyitkan dahi dan (harus percaya) energi yang dikeluarkan untuk mengernyitkan dahi lebih besar daripada energi untuk tertawa.
Saya sebut Mbak Anu sebagai drakula emosi, bukan saja dia telah menyedot energi teman-temannya satu ruangan, namun dia juga telah membuat suasana menjadi mencekam, mirip kuburan tua. (kayak apa sih kuburan tua itu ??? )
Padahal biasanya si mbak Anu ini orangnya cukup ceria, minimal ndak neko-neko lah, tapi mendadak melakukan perubahan wajah yang sedemikian ekstrimnya.
Jujur saja saya mengatakan, hal tersebut sering terjadi dan sering saya alami. Pada awalnya saya menyalahkan diri saya sebagai penyebab terjadinya seseorang menjadi drakula emosi, mungkin diri saya yang kurang pas memposisikan bahasa tubuh atau mungkin tutur kata saya yang kurang berkenan. Dan hal ini berefek negatif pada diri saya. Saya sering merasa tidak nyaman dengan keberadaan orang tersebut, saya sering merasa bersalah dan jangka panjangnya, saya menjadi stress.
Inilah proses belajar yang saya katakan sebelumnya "tidak mudah" dan cenderung "sulit" untuk saya pribadi. Saya berusaha untuk bersikap baik, namun nurani saya menentangnya. Kadang nurani saya berkata "Lah, enak saja. Aku tidak berbuat apa-apa kok dikasi muka masam, terus kau jadikan aku sebagai korban masalahmu. Macam mana pulak kau ini". (maklum nurani saya kadang agak sedikit kebatak-batakan :) ).
Proses pemahaman pada diri sendiri, itulah yang akhirnya saya lakukan terlebih dulu. Prinsip awal yang saya pelajari, saya harus tahu di batas mana saya mulai merasa tidak nyaman. Saya mempelajari kekurangan diri saya, mulai belajar menerimanya, mulai belajar memperbaikinya, andaikata belum berhasil 100%, saya ulangi lagi dengan proses penerimaan diri. Dan pelan-pelan namun pasti, meskipun belum 100%, saya mulai merasakan perubahan pada diri saya. Saya tidak lagi menuntut diri sendiri untuk "perfect" dalam menghadapi si drakula emosi. Bahkan kadang saya menggoda si drakula emosi, sekadar ingin tahu apakah dia tahu bahwa dirinya telah berubah menjadi seekor drakula, atau untuk mengetes diri sendiri apakah sudah cukup mampu untuk menghadapi jurus sedotan energi yang dilancarkan oleh si drakula tersebut.
Investigasi pada si drakula masih sering saya lakukan. Kesimpulan demi kesimpulan sering saya peroleh untuk kemudian saya uji cobakan lagi, apakah sudah benar kesimpulan saya tersebut. Kesimpulan tersebut saya buat, bukan untuk menghakimi dan membunuh si drakula emosi, namun saya gunakan untuk memperkebal diri saya, terhadap serangan-serangan yang dilakukannya. Dan sekali lagi saya katakan, ini proses yang tidak mudah.
Mungkin lebih mudah bagi saya bila si drakula ini menyingkir dari hidup saya selamanya, namun apakah tidak ada kemungkinan drakula lain akan muncul dalam hidup saya ? Dan apakah akan membuat hidup saya jadi lebih baik ?
Saya masih hidup bersama drakula emosi tersebut, masalah demi masalah selalu ditimbulkannya, baik masalah kecil, maupun besar ataupun masalah kecil yang dibesarkan. Saya berharap, bisa lebih banyak belajar dan bisa lebih banyak memperoleh ilmu untuk diri sendiri, dan mungkin untuk saya tularkan kepada orang lain, serta menjadi pedoman untuk tidak menjadikan diri saya sebagai drakula selanjutnya. Cukup satu drakula saja yang saya kenal di hidup saya. Semoga itu bukan ANDA !
***
Di akhir proses ini dan di setiap proses ini, saya selalu libatkan Tuhan Yesus secara pribadi. Dan sering saya katakan (dengan susah dan sulit) "hai masalah, aku punya Tuhan yang besar, Yesusku besar, dia mengatasi segala masalah" (syair lagu dari JSC). Kalau saya bisa memulai proses belajar ini dan mempunyai kemauan untuk mempelajarinya, Anda pasti lebih bisa daripada saya. Percayalah. Tidak ada satupun drakula di muka bumi ini yang sanggup mengalahkan kuasa Yesus.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.