Rabu, 23 November 2011

Jalan mbulet

Malam sudah turun dan menggantikan sore. Cukup larut Tanto dan Yahya pulang dari sekolah, usai mengerjakan beberapa tugas OSIS untuk esok hari. Di tengah jalan, tiba-tiba Tanto terdiam. Dia menarik tangan Yahya sambil berkata, "Rasanya aku harus pulang lewat jalan lain, tidak mungkin aku lewat jalan yang biasanya aku lalui." Terlihat kecemasan di wajah Tanto.
"Ada apa ? Mengapa kamu terlihat takut ?" tanya Yahya kemudian, sambil menenangkan temannya.
"Jalan yang biasa aku lalui bila malam hari, selalu banyak anak-anak nakal yang mabuk-mabukan. Aku tidak senang kepada mereka, karena mereka selalu meminta uang dan tidak segan-segan menyakiti siapapun juga yang lewat," jelas Tanto yang masih terlihat ketakutan.
"Namun jika aku harus berputar lewat kuburan, jalannya penuh lubang dan gelap sekali. Bukan aku takut, namun sulit sekali buatku untuk melihat di kegelapan," lanjut Tanto.
"Hmm, kamu tenang saja. Lebih baik aku temani kamu lewat kuburan. Kebetulan aku membawa handphoneku dilengkapi dengan senter. Meskipun kecil tapi cukup terang. Bagaimana ?" kata Yahya sambil tersenyum untuk menenangkan sahabatnya tersebut.
Tanto terlihat senang mendengar perkataan Yahya. "Wah, untung aku pulang bersama kamu. Terima kasih ya," kata Tanto penuh senyum.

Jalan yang akan mereka tempuh kemudian adalah jalan yang lebih jauh, berputar dan
gelap karena harus melalui kuburan. Berbeda dengan jalan utama yang biasa mereka lalui. Namun karena suatu hal, jalan utama yang mereka lalui menjadi lebih berbahaya, sebab ada beberapa anak nakal yang sedang mabuk-mabukan.
Beruntung salah satu dari mereka membawa penerangan untuk melewati jalan yang gelap tersebut.


Tuhan menjadi penerang bagi bangsa Israel dalam menempuh padang gurun. Tidak saja menjadi tiang api di malam hari, namun juga menjadi tiang awan di siang hari. Mungkin ada jalan pintas bagi bangsa Israel untuk menuju tanah perjanjian, namun jalan pintas tersebut harus melalui tanah bangsa Filisin. Dan mungkin mental serta kesiapan bangsa Israel untuk menghadapi bangsa Filistin belumlah cukup, sehingga Tuhan menuntun bangsa Israel melalui padang gurun. Sekaligus menjadi pembelajaran bagi mereka agar tetap setia dan yakin kepada Tuhan.

Jalan yang berputar bukanlah menjadi keinginan manusia pada umumnya. Sangatlah tidak bijak bila kita menghakimi orang lain, yang terlihat "mbulet" dalam menentukan langkah yang ingin dia tempuh dalam hidupnya. Mungkin saja, saat itu Tuhan hendak menuntunnya melalui jalan yang terlihat "mbulet" bagi orang lain. sehingga dalam perjalanannya orang itu bisa meyakini bahwa dalam hidupnya selalu ada Tuhan yang menuntun. Baik siang maupun malam. Dan jika jalan tersebut adalah jalan yang sudah ditentukan Tuhan, siapakah kita sehingga menghakimi sesama yang terlihat "mbulet", apakah kita tidak sedang menghakimi Dia yang menentukan jalan tersebut ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

 
;