Sabtu, 12 November 2011

Urusan pleketek

Satu malam istriku berbicara, "Pa, jangan marah ya, aku cuma mau cerita saja".
Otakku cepat tanggap untuk hal-hal seperti itu, pasti ada sesuatu yang tidak beres pikirku.
"Ibu tadi cerita, papamu minta ibu untuk menasehati kamu, karena kamu tidak pernah ke gereja.
Yah, ibu cuma senyum saja. Karena ibu tahu seperti apa papamu dan alasan kamu". Diam sejenak.
Karena istriku melihat ekspresi tidak senang di wajahku, sebab ini adalah kedua kalinya, aku mendengar kata-kata tersebut.
"Ibu tadi juga "diceritani" sama Bu Titik, kalau dia ditegur Papa karena aku sama kamu didaftar di kelompok 3."
"Terus Papa juga bilang, ya wis, wong sampeyan juga ketuane, terus mbiyen juga saksi manten'e. Bimbingen wis."



Aku bisa membayangkan intonasi Papa waktu mengatakan hal itu. Baik kepada ibu dari istriku, maupun kepada Ibu Titik yang tidak tahu apa-apa.
Seketika aku menjadi geram.
"Opo se maksud'e Papa itu. Bingung ae ambek urusan pleketek kayak gitu. Terus ngapain lagi ngomong kayak gitu sama Bu Titik ?
Apa urusane coba ? Apa hubungane antara kita dan sama Bu Titik waktu jadi saksi ? Aneh kok."

Aneh adalah kata-kata terbaikku yang bisa aku sampaikan kepada istriku saat itu. Tapi "gendeng" adalah kata-kata yang menjadi pilihan otakku.
Jujur, aku malu. Aku malu sama Bu Titik karena kelakuan kekanak-kanakan Papaku. Malu sama Ibu istriku, yang menjadi tameng setiap minggu.

"Ibu pesan sama aku, untuk tidak ngomong ini sama kamu."

Yah aku tahu, ibumu pasti akan berkata demikian. Ibumu berusaha untuk mengerti aku, ibumu tidak hendak menghakimi pemikiranku. Itu pikiranku.

"Ibu juga jadi ketawa waktu aku menyimpulkan, kalau kamu dan Papamu itu sebenarnya sama. Sama-sama kakunya."

Hahahaha, aku ketawa. Aku produk Papaku. Kenapa Papaku kaget menerima kenyataan kalau aku menjadi kaku, seperti dia ?
Wong orang lain saja bisa melihat hal itu dalam diriku. Aneh kan.


Dan urusan pleketek ini berlanjut ke urusan pakaian.


Satu malam, aku ke rumah Papa untuk mengambil tulang sapi untuk anjingku, berikut dagingnya.
Setelah beberapa saat "berbasa-basi ... basi sekali", Papa berkata "Wayah'e awakmu nggawe klambi koyok Dandy. Mosok kaosan oblong."
(artinya : Harusnya kamu memakai baju seperti Dandy. Masak berkaos oblong)

Waktu itu aku ingat Dandy memakai baju bergaris biru dengan kerah. Terus aku jawab, "Ngapo. Aku luwih seneng kaosan ngene kok."
(artinya : Buat apa. Aku lebih senang berkaos seperti ini kok)
"Wingi klambi garis-garis gak karuan sing berkerah, yo gak tak gawe. Tak wenehno nang wong sing luwih butuh." Lanjutku.
(artinya : Kemarin baju bergaris tidak karuan yang berkerah, juga tidak aku pakai. Aku berikan kepada orang yang lebih membutuhkan)

Yakin deh, mereka kecewa. Kenapa baju pemberian saudara mereka, tidak aku pakai, namun malah aku berikan kepada orang lain.
Kalau tidak salah aku berikan kepada penarik gerobak sampah yang aku tidak kenal.


Sampai kapan aku akan berurusan dengan hal-hal pleketek seperti ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

 
;