Sebuah pertandingan adalah sesuatu hal yang harus dimenangkan, itu kata orang-orang tua jaman dulu. Menang adalah tetap menang dan kalah adalah tetap kalah, meskipun "tipis". Mereka selalu memacu anak-anaknya untuk menjadi pemenang dalam setiap pertandingan, sekecil apapun itu. Mulai lomba makan kerupuk di setiap acara 17-an, hingga peraih ranking di kelasnya dalam masa-masa pendidikan formal. Sehingga tanpa disadari, anak-anak tersebut terbiasa untuk selalu menciptakan iklim kompetisi dalam setiap kehidupan mereka. Yang intinya, "aku tidak mau kalah".
Namun ingatkah bahwa orang tuanya orang tua tersebut yang sudah lebih dahulu tua dan sebelumnya memiliki orang-orang tua juga, memberikan satu pepatah "Kalah jadi abu, menang jadi arang" ... Apakah pepatah tersebut hanya berlaku untuk "pertandingan" yang tidak ada manfaatnya ? Misalnya tawuran massal dll. Sekilas tentang perkelahian atau apapun itu bentuknya, aku teringat dengan salah satu kata-kata dari Kelatnas (Keluarga Silat Nasional) Perisai Diri
Sabtu, 31 Agustus 2013
Tulisan
0
komentar
Walaupun kau terlihat menang, yang kau dapat hanya kehampaan
Weks ... angin darimana Wen pake basa inglis segala, gaya amat lu ...
Hehehehehehehe.
Bukan apa, soalnya kalo tuh judul dilempar pake basa endonesa, jadinya aneh ... "Kamu yang minum kopi, tapi pengen orang lain dapet ampasnya" Hehehe.
Satu kali Litani sedang bergosip ria dengan tiga orang temannya, Munyuk, Kunyuk dan Bunyuk (buset, jelek amat namanya .. hehehe).
Litani : "Di kehidupan pernikahan kami, kami berdua saling terbuka, tidak ada lagi yang namanya rahasia, kebohongan atau tembok apapun diantara kami".
Munyuk : "Wah ya keliru donk. Kita sebagai kaum wanita yang merdeka setelah tahun 1945, harus tetap punya yang namanya rahasia."
Kunyuk : "He eh. Jangan mau diberangus oleh pria atas nama cinta".
Bunyuk : "Ho oh, bener itu"
Hehehehehehehe.
Bukan apa, soalnya kalo tuh judul dilempar pake basa endonesa, jadinya aneh ... "Kamu yang minum kopi, tapi pengen orang lain dapet ampasnya" Hehehe.
Satu kali Litani sedang bergosip ria dengan tiga orang temannya, Munyuk, Kunyuk dan Bunyuk (buset, jelek amat namanya .. hehehe).
Litani : "Di kehidupan pernikahan kami, kami berdua saling terbuka, tidak ada lagi yang namanya rahasia, kebohongan atau tembok apapun diantara kami".
Munyuk : "Wah ya keliru donk. Kita sebagai kaum wanita yang merdeka setelah tahun 1945, harus tetap punya yang namanya rahasia."
Kunyuk : "He eh. Jangan mau diberangus oleh pria atas nama cinta".
Bunyuk : "Ho oh, bener itu"
Senin, 26 Agustus 2013
Tulisan
0
komentar
Menghapus garismu, lebih mudah daripada memanjangkan garisku
Sepertinya manusia memang tak akan pernah lepas dari sesuatu yang aku sebut "menghakimi", aku mengalaminya dan melakukannya. Anda ? Kalian ? Siapapun, mungkin pernah mengalaminya, meskipun dalam skala yang tipis, kecil dan mikroskopis. Entah itu bentuknya penyindiran secara halus, penuduhan secara verbal ataupun pembunuhan karakter. Pembunuhan karakter disini adalah gabungan penyindiran, penuduhan dan mencari "bolo" untuk melakukan tindakan penghakiman tersebut.
Mungkin aku belum pernah bertemu dengan manusia yang sepanjang hidupnya tidak pernah menghakimi atau mungkin belum takdirku untuk bertemu dengan makhluk ciptaan Tuhan dengan kriteria "tidak pernah menghakimi sedikitpun".
Dan boleh percaya boleh tidak, suka suka elu lah :) .... secara tidak sadar, dengan tindakan menghakimi, kita telah menempatkan diri sendiri sebagai Tuhan atas orang lain. Bahkan secara tidak langsung, kita telah mengangkat diri kita sendiri menjadi Tuhan atas orang lain.
Kok bisa ? ...
Mungkin aku belum pernah bertemu dengan manusia yang sepanjang hidupnya tidak pernah menghakimi atau mungkin belum takdirku untuk bertemu dengan makhluk ciptaan Tuhan dengan kriteria "tidak pernah menghakimi sedikitpun".
Dan boleh percaya boleh tidak, suka suka elu lah :) .... secara tidak sadar, dengan tindakan menghakimi, kita telah menempatkan diri sendiri sebagai Tuhan atas orang lain. Bahkan secara tidak langsung, kita telah mengangkat diri kita sendiri menjadi Tuhan atas orang lain.
Kok bisa ? ...
Suatu kebiasaan untuk saling bertanya kabar setelah sekian lama tidak bertemu. Menjadi kebiasaan pula setelah sering bertemu untuk bertanya lebih dalam lagi. Dan akhirnya keterusan menjadi adat, untuk selalu mau tahu urusan orang lain serta masalah-masalah yang sedang dihadapinya sendiri ataupun keluarganya, dll.
Contoh :
Hari 1 - "Halo, apa kabar ?"
Hari 2 - "Hai, gimana kabarmu dan suamimu?"
Hari 3 - "Aloha, suami dan anakmu, baik-baik saja kan?"
Hari 4 - "Gimana masalahmu dengan suamimu?"
Hari 5 - "Sabar saja ngadepin
Contoh :
Hari 1 - "Halo, apa kabar ?"
Hari 2 - "Hai, gimana kabarmu dan suamimu?"
Hari 3 - "Aloha, suami dan anakmu, baik-baik saja kan?"
Hari 4 - "Gimana masalahmu dengan suamimu?"
Hari 5 - "Sabar saja ngadepin
Langganan:
Postingan (Atom)