Untuk mendapatkan sesuatu yang sangat kita inginkan, kadang berbagai cara akan kita lakukan. Melewati badai topan seolah sedang berhadapan dengan hujan gerimis. Berlari di antara desingan peluru, laksana menikmati kicauan burung di pagi hari. Namun akan berbeda ceritanya jika kita telah mendapatkannya. Hujan gerimis terasa sangat dingin menembus tulang. Jangankan berlari di tengah desingan peluru, untuk berjalan dengan beberapa rintangan dan tantanganpun akan terasa berat dan malas, lebih enak di tempat aman dan nyaman.
Berikut adalah kisah fiksi yang ingin aku tuliskan.
Di masa-masa sekarang, pengakuan merupakan sesuatu yang sangat mahal harganya. Di media televisi sering ditayangkan orang-orang yang tidak mau mengakui kesalahannya, anaknya, perbuatannya apapun itu dan banyak hal lain, yang seolah-olah menjadi indikasi semakin mahalnya nilai pengakuan tersebut. Mungkin karena mereka tidak sanggup membayangkan, hal-hal yang akan terjadi sesudahnya apabila mereka membuat pengakuan tertentu.
Aku pun juga menyadari hal tersebut. Pengakuan akan kekurangan dan kelemahanku kadangkala seperti momok yang siap menghujam dan menenggelamkanku ke jurang yang paling gelap dan dalam. Dan tak jarang bayang-bayang pengakuan tersebut, seolah akan meruntuhkan "image", harga diri
Aku pun juga menyadari hal tersebut. Pengakuan akan kekurangan dan kelemahanku kadangkala seperti momok yang siap menghujam dan menenggelamkanku ke jurang yang paling gelap dan dalam. Dan tak jarang bayang-bayang pengakuan tersebut, seolah akan meruntuhkan "image", harga diri
Produk yang gagal, entah karena sebab teknis maupun non teknis, biasanya akan dihancurkan apabila tidak bisa di-rekondisi. Namun re-kondisi biasanya dipakai sebagai alternatif cadangan. Pilihan pertama untuk produk yang gagal, biasanya dihancurleburkan. Agar tidak memalukan bila sampai di pasaran ataupun agar tidak menghancurkan produk berikutnya.
Adakah manusia diciptakan sebagai produk yang gagal ?
Dengan rasa mual yang aku alami karena moodku yang kadang berubah, lalu berturut-turut menjadi orang yang selalu merasa bersalah, tidak yakin dengan kemampuan diri, orang yang posesif, entah apalagi nantinya (aku berharap ini akan berakhir), aku merasakan diriku sebagai produk gagal.
Adakah manusia diciptakan sebagai produk yang gagal ?
Dengan rasa mual yang aku alami karena moodku yang kadang berubah, lalu berturut-turut menjadi orang yang selalu merasa bersalah, tidak yakin dengan kemampuan diri, orang yang posesif, entah apalagi nantinya (aku berharap ini akan berakhir), aku merasakan diriku sebagai produk gagal.
Hampir di setiap perjalanan kemanapun, saat naik mobil aku selalu mengunyah sebiji permen. Selain untuk melawan mualku, juga untuk mengantisipasi bau mulut yang mungkin muncul. Dan di setiap kesempatan tersebut, bungkus permen selalu aku masukkan kantong, kadang bisa terbuang jika aku melihat tempat sampah, ataupun kadang ikut tercuci oleh istri tercinta .. heheh :) nyampah di mesin cuci lah.
Tak jarang sang sopir, yang kadang adalah temanku sendiri, selalu berkomentar
Sebagai pengikut agama Kristen, aku seringkali bertemu dengan pengusaha-pengusaha dan pimpinan-pimpinan yang sama-sama menganut agama Kristen. Sehingga acapkali apa yang mereka katakan, apa yang mereka perbuat, mempunyai kemiripan, apalagi jika bertindak berdasarkan Alkitab, atau minimal penafsiran yang sama tentang isi Alkitab.
Hari ini, aku ingin menuliskan uneg-unegku berdasarkan cerita seorang teman yang "mengeluhkan", bagaimana karyawannya keluar masuk, dengan berbagai alasan klasik menurut versi dia. Klasik disini, identik dengan gaji. Dia mengisahkan, karyawannya,
Hari ini, aku ingin menuliskan uneg-unegku berdasarkan cerita seorang teman yang "mengeluhkan", bagaimana karyawannya keluar masuk, dengan berbagai alasan klasik menurut versi dia. Klasik disini, identik dengan gaji. Dia mengisahkan, karyawannya,
Aku selalu sedih dan sekaligus benci jika melihat sosokmu.
Saat putus asa, yang kau ingat hanyalah kematian.
Saat sedih, yang kau ingat hanyalah keputusasaan.
Saat melihat keluargamu, yang kau ingat hanyalah kesedihan.
Saat melihat dirimu yang carut marut, yang kau ingat hanyalah keluargamu.
Saat melihat masa lalumu, yang kau ingat adalah dirimu yang sekarang carut marut.
Tidak ada yang bisa membuatmu bangun dari mimpi burukmu.
Tidak ada yang bisa membuatmu melepaskan imajinasi terbusukmu.
Tidak ada yang bisa membuatmu terbang bebas bagai rajawali.
Kecuali dirimu sendiri dan secerah harapan pada mujizat.
Dan saat itu kau sadari, kau kembali melihat dirimu yang carut marut.
Sambil berkata, "Mungkinkah ? Bisakah ? Andai ... "
Kadang kau gantungkah dirimu pada seutas tali pengharapan di tangan manusia.
Manusia yang paling kau cintai dalam hidupmu.
Tapi tak kau sadari, bahwa manusia itupun bisa lelah, letih dan sedih karenamu.
Namun terus kau tuntut dia untuk kuat dan menemanimu, dalam sisa rongga kekeringanmu.
Letih sudah jiwamu.
Hanya air sungai yang jernih, hanya sinar matahari yang hangat, hanya angin yang berhembus perlahan,
hanya rumput yang lembut ... teriak jiwamu meminta.
Nanti kau akan menemukannya.
Dalam keabadian.
Saat putus asa, yang kau ingat hanyalah kematian.
Saat sedih, yang kau ingat hanyalah keputusasaan.
Saat melihat keluargamu, yang kau ingat hanyalah kesedihan.
Saat melihat dirimu yang carut marut, yang kau ingat hanyalah keluargamu.
Saat melihat masa lalumu, yang kau ingat adalah dirimu yang sekarang carut marut.
Tidak ada yang bisa membuatmu bangun dari mimpi burukmu.
Tidak ada yang bisa membuatmu melepaskan imajinasi terbusukmu.
Tidak ada yang bisa membuatmu terbang bebas bagai rajawali.
Kecuali dirimu sendiri dan secerah harapan pada mujizat.
Dan saat itu kau sadari, kau kembali melihat dirimu yang carut marut.
Sambil berkata, "Mungkinkah ? Bisakah ? Andai ... "
Kadang kau gantungkah dirimu pada seutas tali pengharapan di tangan manusia.
Manusia yang paling kau cintai dalam hidupmu.
Tapi tak kau sadari, bahwa manusia itupun bisa lelah, letih dan sedih karenamu.
Namun terus kau tuntut dia untuk kuat dan menemanimu, dalam sisa rongga kekeringanmu.
Letih sudah jiwamu.
Hanya air sungai yang jernih, hanya sinar matahari yang hangat, hanya angin yang berhembus perlahan,
hanya rumput yang lembut ... teriak jiwamu meminta.
Nanti kau akan menemukannya.
Dalam keabadian.
Aku pernah mendengar suatu teori dari seorang "pakar", tentang cara menilai seseorang, yang bisa dipergunakan untuk apapun keperluannya. Dengan pedoman Obyektif 80% dan Subyektif 20%.
Berharap untuk tidak lagi mengisi kolom "Makian", namun ternyata aku tidak bisa. Entah karena aku emosiku yang sedang carut marut, atau kebencianku, atau dendamku yang tidak terbalaskan, atau sakit hatiku atas perlakuannya terhadap istri dan anakku yang sewenang-wenang, menurut "subyektifitas" cara berpikirku.
Menurut Subyektifitasku yang 20% ... versi negatif ini :
1. Cuma bisa aksi dan gaya saja
>> kamu adalah Rajanya
2. Pembohong
>> kamu adalah terbaik dari yang terbaik
Sekarang aku harus adil dalam "memaki"-mu. Kugunakan Obyektifitasku yang 80% ... versi positif ini :
1. Low profile
>> pasti aku sedang berbohong
2. Suka memberi masukan positif
>> pasti aku sedang berkhayal
3. Penyabar
>> mungkin saat itu aku habis minum antimo 17 biji
4. Penyayang
>> ah, itu cerita orang lain
5. Pendamai
>> kata-katamu sendiri .. dulu. .... Sekarang .. ???
6. Dihormati dan disegani semua orang
>> iya tah ? kok bini-nya ndak ?
7. Pekerja keras
>> wuihhh keras sekali, sampe sering kecapekan dan tertidur
8. Menghargai privasi
>> mbelgedezh
Nah, sudah benar kan komposisiku dalam "memaki"-mu. 80% dan 20%. Aku luapkan emosi dan kemarahanku semalam karena perbuatanmu yang gak sesuai dengan "jati dirimu" yang kamu katakan beberapa hari yang lalu ("aku itu orangnya sangat menghargai privasi"). Aku puaskan untuk memaki-mu dengan lebih cerdas, tidak menyakitimu dan membuatku lumayan plong. Mungkin lebih plong lagi sebenarnya bila aku meminta pembalasan untuk perbuatanmu, tapi .. aku pikir-pikir .. ndak deh. Bukan hak-ku untuk membalas, pun juga untuk meminta. Semua akan berjalan di jalan-Nya.
Akhir kata ... GTH coy, sayang aku harus memaki "Sang Pakar" ...
*** SELESAI ***
NB :
Aku berharap tidak akan menambah isi kolom makian, minimal bila aku terpaksa mengisinya, bukan karena Subyek yang sama. I wish.
Berharap untuk tidak lagi mengisi kolom "Makian", namun ternyata aku tidak bisa. Entah karena aku emosiku yang sedang carut marut, atau kebencianku, atau dendamku yang tidak terbalaskan, atau sakit hatiku atas perlakuannya terhadap istri dan anakku yang sewenang-wenang, menurut "subyektifitas" cara berpikirku.
Menurut Subyektifitasku yang 20% ... versi negatif ini :
1. Cuma bisa aksi dan gaya saja
>> kamu adalah Rajanya
2. Pembohong
>> kamu adalah terbaik dari yang terbaik
Sekarang aku harus adil dalam "memaki"-mu. Kugunakan Obyektifitasku yang 80% ... versi positif ini :
1. Low profile
>> pasti aku sedang berbohong
2. Suka memberi masukan positif
>> pasti aku sedang berkhayal
3. Penyabar
>> mungkin saat itu aku habis minum antimo 17 biji
4. Penyayang
>> ah, itu cerita orang lain
5. Pendamai
>> kata-katamu sendiri .. dulu. .... Sekarang .. ???
6. Dihormati dan disegani semua orang
>> iya tah ? kok bini-nya ndak ?
7. Pekerja keras
>> wuihhh keras sekali, sampe sering kecapekan dan tertidur
8. Menghargai privasi
>> mbelgedezh
Nah, sudah benar kan komposisiku dalam "memaki"-mu. 80% dan 20%. Aku luapkan emosi dan kemarahanku semalam karena perbuatanmu yang gak sesuai dengan "jati dirimu" yang kamu katakan beberapa hari yang lalu ("aku itu orangnya sangat menghargai privasi"). Aku puaskan untuk memaki-mu dengan lebih cerdas, tidak menyakitimu dan membuatku lumayan plong. Mungkin lebih plong lagi sebenarnya bila aku meminta pembalasan untuk perbuatanmu, tapi .. aku pikir-pikir .. ndak deh. Bukan hak-ku untuk membalas, pun juga untuk meminta. Semua akan berjalan di jalan-Nya.
Akhir kata ... GTH coy, sayang aku harus memaki "Sang Pakar" ...
*** SELESAI ***
NB :
Aku berharap tidak akan menambah isi kolom makian, minimal bila aku terpaksa mengisinya, bukan karena Subyek yang sama. I wish.
Langganan:
Postingan (Atom)