Apakah arti sebuah rongsokan di mata kita? Mungkin hanya sebuah onggokan tak berguna yang siap masuk ke tempat sampah atau pelimbahan. Tidak lebih dari sampah yang sudah tidak bisa dipergunakan, ataupun di daur ulang. Begitulah aku menggambarkan diriku. Kekurangan demi kekurangan, kelelahan demi kelelahan, keputusasaan demi keputusasaan dan berakhir pada rasa tak berguna dan tak lebih dari seonggok sampah.
Mungkin aku terlalu berlebihan dalam menggambarkan diriku, mungkin aku terlalu memandang jauh ke dalam diriku, dan membandingkannya dengan kondisiku dulu dan kondisiku sekarang, terlebih saat melihat kawan-kawanku yang kadangkala berlalu lalang di depanku. Kenapa aku bilang kadangkala ?
Karena aku sendiri tidak menaruh harapan, bahwa mereka mau menjadi kawan-kawanku, sebab keunikan yang ada diriku, yang sebagian besar telah mereka ketahui.
Namun, sampah ini masih memiliki rasa beruntung dan syukur, karena ... ada beberapa sosok yang tidak meninggalkan aku. Mungkin mereka tahu kekuranganku, namun mereka menanggapnya bukan suatu masalah yang besar, dan jujur itu melegakan aku. Sosok-sosok tersebut juga berlalu lalang di sekitarku. Kadang mereka meminta tolong kepadaku, meski aku bisa panik karena permintaan mereka. Kadang mereka menemaniku, meski kadang mood-ku bisa naik turun tidak jelas. Kadang mereka mempengaruhiku agar aku tetap bersemangat, tetap berjalan, tetap aktif seperti aku yang dulu.
Tuhan adalah yang terutama.
Istriku, anakku, bapakku, ibuku, mbak-mbakku adalah yang selanjutnya.
Beberapa kenalan baru, beberapa kawan lama, adalah yang seterusnya.
Mereka-mereka itu yang seolah-olah tidak pernah memandang bahwa aku hanyalah onggokan sampah, yang tinggal sekali tepis ... tercerai berailah semua. Mungkin jika hari ini aku masih bisa menulis dan mengakui, itu semua karena mereka.
***
Hari ini aku cukup panik, namun aku tidak memperbesarnya. Aku berdiam diri, aku mengerjakan hal-hal lain di kantor, dan beberapa hal lainnya, agar pikiranku tidak tertuju kepada acara salah seorang teman yang meminta tolong untuk aku abadikan. Entah saat seperti apa, tiba-tiba bayang-bayang ketakutan akan acara tersebut muncul. Tiba-tiba datang, dan aku seolah terjebak didalamnya.
Ibu Indri, Pak Sas, Wenny, aku minta maaf ya jika kemarin mungkin tidak terlalu enak nada suaraku di telepon. Maaf. Itu hanyalah mekanisme pertahanan diriku bila aku mengalami sesuatu hal yang aku tidak yakin bisa melakukannya. Sesuatu hal yang mungkin mengungkit bawah sadarku. Aku akan "mbulet", aku akan "ruwet", dan kebanyakan aku akan menolak dengan berbagai cara. Tapi entah, mungkin kehendak Tuhan, aku tidak bisa menolak untuk hal ini. Aku akan bantu kalian semaksimalnya. Tolong mengerti keadaanku ya ...
Tuhan, tolong aku. Rasanya ingin menangis, antara takut dan terharu karena masih ada yang mengingat aku. Antara cemas dan ingin membantu. Antara bingung dan ingin tetap berjalan.
Doaku agar nanti semua akan berjalan dengan baik. Aku serahkan, aku pasrah dan ikhlaskan pada apa yang akan Tuhan perbuat pada diriku nanti.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.