Sabtu, 24 Desember 2016 0 komentar

24 Desember 2016



Hari ini, mungkin banyak umat Kristen, Kristiani, Nasrani, apapun itu sebutannya, sedang mengikuti ibadah malam Natal, di gereja mereka masing-masing. Dan kebiasaan dari dulu, gereja-gereja tersebut berhiaskan banyak pernak-pernik Natal, lampu, pohon cemara, dan apapun itu yang berkaitan dengan peringatan hari kelahiran Yesus. Nyanyian Natal, musik Natal, makanan Natal, melengkapi perayaan tersebut.

Dan di hari ini pula, aku duduk terdiam, setelah menyelesaikan 1 dari 4 gambar yang harus segera aku selesaikan minggu ini. Dengan rasa sakit di kepala sebelah kiri, aku mulai membayangkan dan mengingat-ingat kembali dari aku kecil hingga saat ini, seperti apa perayaan Natal dari tahun ke tahun aku lewati.

Saat aku masih kecil, aku menjadi pengamat ibadah perayaan Natal, aku melihat aksi panggung yang dilakukan oleh anak-anak yang usianya lebih tua dari aku. Mereka menari, menyanyi, menyemarakkan perayaan Natal di gereja.
Saat aku duduk di bangku SD, aku mulai diikut sertakan oleh orang tuaku, menjadi bagian dari aksi panggung untuk memeriahkan perayaan Natal. Kali ini aku menjadi pemain yang dinikmati oleh orang lain, tapi mereka tidak tahu bagaimana ketegangan demi ketegangan yang kami alami untuk mempersiapkan aksi panggung ini. Aksi panggung yang akan mereka nikmati.
Saat aku mulai beranjak remaja, aku mulai ikut dalam aktifitas persiapan aksi panggung. Ketegangan demi ketegangan muncul kembali. Bukan hanya dirasakan olehku, namun juga oleh teman-temanku, karena mereka hanya ingin ibadahnya sukses, acaranya bagus, panggungnya indah, agar bisa dipergunakan oleh adik-adik remaja dan dinikmati oleh orang-orang tua.
Saat aku mulai menjadi orang tua, aku menikmati semua yang mereka suguhkan. Aksi panggung, acaranya, ibadahnya. Semuanya berjalan dengan baik menurutku, tanpa aku sedikitpun tahu, ada kesulitan apa dibalik semua ini.


Saat aku masih kecil, aku diberi kado oleh saudara-saudaraku yang lain, mulai dari jajanan sampai baju, sebagai hadiah Natal dari mereka. Aku sangat senang melihat banyaknya makanan dan hadiah dari mereka.
Saat aku duduk di bangku SD, hadiah-hadiah tersebut masih ada, namun makanannya mulai berkurang, karena mendahulukan tamu-tamu yang banyak sekali berdatangan ke rumah. Tamu-tamu tampak senang dengan banyaknya makanan yang disuguhkan.
Saat aku mulai beranjak remaja, hadiah-hadiah itu sudah tidak ada lagi. Jajanan-jajanan di masa kecilku pun juga sudah mulai berkurang, entah kenapa.
Saat aku mulai menjadi orang tua, aku menjadi tahu, bahwa apa yang aku alami saat masih kecil, hanyalah sebagian dari tradisi turun temurun, dan bahkan tidak memiliki arti yang lebih dalam, jika aku melihat topeng-topeng yang dikenakan oleh orang-orang disekitarku. Karena setelah hari ini, mereka melalui hari-harinya dengan topeng yang sama.


Saat ini, aku hanya menghela napas panjang, panjang sekali. Aku merenungi kebosananku dengan segala macam perayaan, dengan segala macam hidangan, dengan segala macam tawa dan canda yang berlindung di balik topeng. Hari ini, aku putuskan untuk tidak merayakan Natal di gereja. Aku hanya ingin diam di rumah, dan memikirkan mereka yang tidak bisa merayakan Natal seperti yang dilakukan kebanyakan orang.
Mungkin mereka tidak bisa merayakan Natal, karena sakit, karena tangannya tertancap jarum, karena mereka harus mencari sesuap nasi malam ini untuk orang-orang yang mereka kasihi, karena keadaan yang tidak memungkinkan untuk merayakan Natal, bahkan meskipun hanya untuk menyanyikan lagu Natal di dalam kamar mandi mereka.

Ya Tuhanku, Yesus, yang hari ini sebagian pengikutMu dan orang yang percaya kepadaMu merayakan hari kelahiranMu, hamba teteskan air mata dalam tangkupan tangan hamba, mohon temani mereka yang tidak bisa merayakannya, mohon agar mereka bisa merasakan setitik saja kebahagiaan, mohon agar mereka bisa merasakan hadirMu, bahkan meskipun mereka saat ini sedang berada di tempat pengap dan tak bercahaya. Mereka anak-anakMu Tuhan, mereka orang-orang yang percaya kepadaMu dan menaruh semua harapan mereka kepadaMu. Hamba mohonkan kepadaMu.
Jadikan kami yang sedikit lebih beruntung ini, kepanjangan tanganMu untuk membahagiakan mereka, walaupun hanya untuk beberapa menit. Gerakanlah hati kami yang sedikit lebih beruntung ini, karena bisa berpakaian bagus, bisa beralaskan kaki, yang saat ini sedang menikmati ibadah perayaan Natal untuk membagikan kebahagiaan kepada mereka yang kesulitan. Hamba mohon kepadaMu.




Kamis, 03 November 2016 0 komentar

Bahagia itu Sederhana (2)



Lampu mati, ... membuat beberapa pekerjaanku menjadi terhenti. Yang seharusnya melakukan rendering, desain exterior dan tracing beberapa gambar dan stiker motor, tidak bisa aku lakukan. Yah, sudahlah. Mungkin memang aku harus jalan-jalan dulu keluar. Bersama istri, aku menuju warung bakso dan mie ayam solo, tak jauh dari tempat tinggalku. Sambil ngobrol santai dengan bapak penjualnya, aku lewati malam ini. Setelah selesai makan, aku ajak istriku untuk "nyelonong" ke tempat antah berantah, tidak tahu tujuannya, yang penting jalan saja, sambil mencari jalur tembusan baru.

Sekitar 15 menit kami menyusuri jalan yang penuh lubang, pandangan mataku melihat sesuatu yang menarik dan telingaku tergelitik untuk mendengarkan lebih lama, aku berhenti dan duduk di atas motor, sambil menikmati suasana pasar malam. Pasar malam yang sekarang amat sangat jarang sekali. Pasar malam yang tidak mungkin dinikmati penduduk kota, hanya penduduk desa sepertiku saja yang kadang masih bisa menikmatinya. Tak terasa, beberapa kali kami berdua tertawa terbahak-bahak. Tawa yang senang, tawa yang ringan dan ini menjadi kebahagiaanku yang sederhana jilid 2, hanya karena melihat ulah Kartolo CS. Grup lawak yang sudah sangat lama sekali, dari daerah Jawa Timur. Entah tahun berapa, aku terakhir bertemu dengan mereka. Yang aku ingat, saat itu aku menghadiri undangan dari kantor JTV di Surabaya dan berkesempatan bertemu mereka.

Saat ini, tidak ada hal lain yang mengganggu pikiranku, tidak ada hal lain yang membuatku kuatir, tidak ada hal lain yang mengusikku, semuanya menyenangkan. Enteng sekali. Sesederhana itu bahagia. Sederhana seperti penduduk desa yang menikmati tawa bersama dengan suguhan layar tancap, ditemani kopi dan jagung bakar.

Terima kasih Tuhan untuk hari ini.







Semoga bangsaku, bisa merasakan kebahagiaan yang paling sederhana. Ndak ngeributin penistaan agama, ndak ngeributin pajak, ndak ngeributin pilkada, ndak ngeributin politik, ndak ngeributin Jessica, ndak ngeributin orang lain yang berbeda ... hanya duduk diam, mengucap syukur untuk semua hal sederhana yang kita alami hari ini, setiap hari, selamanya.
Sabtu, 08 Oktober 2016 0 komentar

Catatan September - Oktober

Berita tentang Pilkada mulai bergentayangan di beberapa stasiun televisi, bahkan sepertinya tidak ada gunanya stasiun televisi yang berbeda, karena beritanya sama semua. Mungkin yang membedakan hanyalah, hasil survey yang entah benar atau tidak, di sponsori pula oleh calon kepala daerah yang punya kepentingan untuk menang tentunya. Di tengah-tengah momen pilkada ini, bermunculan cerita-cerita negatif yang bertujuan untuk meng-"kambing hitam"-kan lawan-lawan politiknya. Entah siapa yang membuat, apakah atas perintah calon kepala daerah tersebut, atau atas perintah pendukungnya atau orang iseng yang sengaja ingin memperkeruh suasana di Indonesia, entah apa pula tujuan mereka itu.

Ada cerita tentang salah satu kandidat kepala daerah yang videonya dipotong sedemikian rupa, sehingga menimbulkan opini publik yang berbeda. Entah apa pula maksudnya.
Ada cerita tentang salah satu kandidat kepala daerah yang blusukan ke pemukiman penduduk yang wilayahnya akan digusur oleh kepala daerah yang lama. Entah apa pula maksudnya.

Yah, apapun maksud mereka mereka itu,
Kamis, 18 Agustus 2016 0 komentar

17 Agustus .. lagi

"What, apa, kok bisa si Tukiyem jadi pengibar bendera ? Bukannya kita saja dulu mengajari dia susah sekali ?, terus kakak sendiri kenapa kok tidak pernah kepilih masuk di tim ?", tanya si Badu kepada Kak Roni. Kak Roni menjawab sambil menghela napas panjang, panjangggggggg sekali, "Yah, masuk di tim itu penilaiannya nggak obyektif, subyektif banged dan seperti main feeling untuk melihat orang-orang yang ingin dipilih". "Lihat itu si Mintul", lanjut Kak Roni. "Dia bisa masuk di pasukan 8, keren sekali kan. Sedangkan si Daryo cuma di pasukan 45".
Dan si Badu dengan Kak Roni terlibat percakapan yang sudah tidak bisa aku dengarkan lagi, karena aku sedang melihat dengan seksama dan dalam tempo yang lama, seorang bule dengan hidung yang sangat amat mancung banget hehehehe.
Meskipun otakku sempat memikirkan omongan mereka. Dan otakku mulai membuat medan tempurnya sendiri. "Ngapain lu repot amat mikirin si Tukiyem, si Mintul dan si Daryo, itu kan rejeki mereka bisa berdiri tegak, berbaris rapi menjadi tim pengibar bendera. Kalau lu ga bisa masuk, ya sudah belum rejeki lu. Lu pikirin saja sekarang, bagaimana bikin bendera Indonesia itu bisa berkibar di luar negeri dan lu terlibat di dalamnya, itu kan lebih keren bro. Lah kalau sekarang lu ga ngapa-ngapain, malah ribet ngomongin mereka yang sudah maju duluan, kapan lu bisa maju juga bro. Ayo bro, buang rasa iri, dengki dll dll, ganti dengan semangat untuk berpretasi di bidang lain. Tuhan kagak tidur bro".


Hari ini, sekali lagi aku menceburkan diriku di tengah kerumunan manusia, yang ingin menyaksikan detik-detik Proklamasi dan pengibaran bendera di Kantor Balaikota. Meskipun tidak ada suguhan atraksi yang menarik seperti tahun lalu, namun upacara ini tetap membawa kesan tersendiri untukku. Terlebih lagi saat aku menyanyikan lagu Indonesia Raya. Bener-bener keren. Bahkan banyak orang di depanku yang sigap memberikan penghormatan saat bendera mulai dikibarkan, mulai anak-anak hingga orang-orang tua. Keren sekali.

Berikut foto-foto yang berhasil aku jepret saat itu.


Semua berjubel, semua memberi hormat kepada Sang Merah Putih

Ndak peduli, anak-anak ataupun orang tua

Ahhh, hidungmu mengalihkan duniaku, wakakaka :p

Beda kan .. maksudku warnanya :p

Semangat pak, ... :)
Foto tambahan, aku ikutan lomba .. picture taken by Daniel


Senin, 18 Juli 2016 0 komentar

Catatan Sekilas Bulan Juli

Ini hanya sekedar catatan sekilas, apa yang sekilas terlihat, apa yang sekilas terjadi, apa yang sekilas aku alami dan apapun yang sifatnya sekilas. :)

Bulan puasa, bulan menahan emosi, menahan lapar, menahan haus telat lewat. Aktifitas kembali seperti semula. Bahkan di awal perayaan kemenangan pun, aku sudah melihat aktifitas rutin yang tidak bisa dilakukan saat bulan puasa, yaitu ... marah :). Bahkan 1 minggu setelah hari raya Idul Fitri, teriakan dan bentakan kembali terjadi, aku jadi kangen masa-masa di bulan puasa, masa yang tenang dan masa dimana semua orang bisa menahan diri. Kangen sekali.

Di bulan ini pula, kasus i-doser yang sudah puluhan abad lalu dibahas, kembali mencuat. Oalah. Yang mencuatkan juga orang-orang di keluarga papa-ku, dalam grup WA. Pengalamanku mengatakan,
Selasa, 05 Juli 2016 0 komentar

Mungkin khan ..

Hari ini untuk kesekian kalinya, aku ingin menumpahkan uneg-unegku, pikiranku sendiri, atas banyak hal yang terjadi hingga aku menyempatkan diri untuk menulis kembali. Uneg-unegku masih seputar keruwetan manusia di sekitarku, manusia yang menyebut dirinya pengikut Kristus, dalam bahasa mudahnya ... orang Kristen. Aku mulai ya ....

1. Aku teringat ada kejadian yang "menimpa" salah seorang temanku, yang ingin menikah secara Kristen, dan oleh pendeta pasangannya, diarahkan untuk menikah di salah satu gereja di Malang, karena domisili temanku yang berada di Kota Malang juga. Mamanya, yang adalah kawan istriku berkata, bahwa anak dan calon suaminya "ditodong" untuk memberikan persembahan perpuluhan dari hasil kerjanya yang dijumlahkan selama 1 tahun. Jadi misal pendapatan dia 1 bulan 10 juta, maka dia harus memberikan pada hari sebelum pernikahannya sejumlah 1 juta x 12 bulan, jadi total 12 juta. Dan beberapa hari sebelum pernikahan Sang Pendeta menelpon dan mengingatkan untuk segera memberikan persembahan perpuluhan tersebut.

***
Logika-ku
Darimana asal "dalil" bahwa orang harus memberikan persembahan perpuluhan yang akan diperoleh dia untuk 1 tahun ke depan, sebagai persembahan sebelum pernikahannya.
Senin, 13 Juni 2016 0 komentar

Gue buang sampah (lanjutan)

Hehehe, ini kisah lanjutan dari cerita sebelumnya "Gue Buang Sampah", mirip-mirip cerita film ya. Beberapa waktu lalu, akhirnya gue diajak bicara. Dari omongan ngalor ngidul ga jelas, akhirnya terbukti .. bahwa apa yang dia "pikirkan", "asumsikan" itu salah besar. NOL BESAR. Karena hingga pembicaraan berakhir, dia tidak bisa menyimpulkan apa kesalahan gue. Dan lucunya, apa yang gue "pikirkan", "asumsikan", tentang dia dan seluruh "kroni"-nya .. BENAR 100 PERSEN.

Kalo gue mengingat kejadian lucu tersebut, gue masih senyum-senyum sendiri. Ada rasa jengkel juga sih, seperti ada pertanyaan, mengapa orang tua tidak selalu bisa dewasa ? Mengapa mereka tidak memposisikan diri sebagai pengayom, tapi lebih memilih jadi lawan bertarung. Tapi siapa gue. Mereka juga tidak melihat gue sebagai anaknya, hanya sebagai "keluarga" biasa, gara-gara satu keturunan saja. Misal bukan satu keturunan, pasti cuma bertetangga saja.

Nek, sadar. Usia sudah lanjut. Sadar jadi majelis, diaken, apalah tetek bengek Gereja. Semua kamu. Yang tiap hari menginjakkan kaki di gereja. Semua kamu. Yang tiap hari membuka firman Tuhan. Semua kamu. Yang dijadwalkan untuk membawa renungan saat ada persekutuan kelompok. Karena apa yang terlihat baik, yang kamu semua lakukan itu, seperti menjadikannya sampah belaka.Tidak ada artinya. Tertutup dengan ketidak bijaksanaanmu. Tertutup dengan ketidak dewasaanmu.
Misal hari ini, kamu semua membawakan firman Tuhan, tentang kasih, mungkin saat itu juga gue akan ketawa dalam hati. Mengapa kamu semua bisa berbicara tentang kasih kepada semua orang, tapi tidak bisa kamu semua lakukan untuk orang-orang dalam hidupmu. Sori kalau gue ketawain kamu semua. Bukan bermaksud menghakimi, namun lebih kepada mengingatkan kamu semua. Kalau gue tidak bisa berteriak lantang, tapi gue sudah cukup puas bisa menulis disini. Semoga satu saat nanti, kamu membaca tulisanku, dan sebaiknya pada saat itu, kamu semua sudah lebih dewasa dari saat kita bertemu terakhir.

Ok gaesss ... hehehehehe.

Jumat, 10 Juni 2016 0 komentar

Why God ?

***
Dadaku terasa sesak ya Tuhanku
Karena ketakutanku, karena kekuatiranku akan mual yang mungkin muncul saat aku mengurus SIM

Di saat yang sama, dadaku juga terasa sesak, saat kulantunkan doa untuk temanku Diana Veronica dan Mbak Mia, yang menginginkan hadirnya seorang anak dalam hidup mereka. Dan terus akan kulantunkan doaku ini, sampai sesuatu terjadi, meskipun harus kutahan rasa sesak di dada ini.

Why God ? Aku masih takut dan kuatir dengan mualku, yang selalu kumohon untuk Kau cabut dari akarnya untuk selamanya.
Why God ? Kau belum memberikan mereka anak yang sangat mereka inginkan.

Why ..



***
Hari Minggu lalu, saat aku sedang berjalan-jalan di area CFD, aku melihat seorang anak kecil pengidap hidrocephalus, yang tengah dipangku oleh ayahnya, tergolek tak berdaya. Dengan penuh kasih sayang, sang ayah mencium keningnya. Mungkin ingin menenangkan anaknya, agar bersabar, agar mau menunggu uluran orang yang berbesar hati, untuk merelakan ilmunya, merelakan hartanya, untuk membantu mereka. Mungkin sang Ayah mencium keningnya sambil berbisik, suatu saat nanti engkau akan sembuh anakku, engkau akan bisa berjalan-jalan dan menikmati kegembiraan di tengah lautan manusia yang sibuk dengan kegembiraan mereka sendiri.

Why God ?
Mengapa, aku tidak Kau berikan kepintaran seperti Diana. Mungkin aku bisa menjadi seorang dokter bedah, yang bisa menolong mereka dengan cuma-cuma.

Why God ?
Mengapa, tidak Kau berikan aku kekayaan seperti Pak Tommy Suhendro, sehingga aku bisa membiayai pengobatan mereka hingga tuntas dan mereka bisa merasakan hidup yang layak.

Why God ?
Mengapa, tidak Kau berikan kepadaku setitik kemampuan untuk menolong mereka yang berkesusahan seperti itu ?


And why God ?
Ada yang tidak Kau berikan anak hingga akhir hayat mereka, dan ada yang Kau berikan anak namun dengan kondisi tidak seperti orang pada umumnya.


Why God ? Why ?

Aku tidak tahu, apakah ini pertanyaanku, komplainku atau doaku kepadaMu. Aku tidak tahu, apakah di Sorga sana, Engkau berkenan membaca tulisanku yang carut marut ini. Tapi Tuhan, tolong sekali ini saja. Berkenan menjawab pertanyaanku, komplainku dan doaku kepadaMu.
Rabu, 27 April 2016 0 komentar

Gue buang sampah

Renungan harian hari ini, mengulas tentang menyimpan sampah dalam bentuk marah, fitnah, hawa nafsu dan banyak lain. Gue akuin seperti diingatkan tentang sampah apa yang sedang gue simpan.

Begini ceritanya ....
Gue gak tahu, apa penyebab "nenek sihir" seperti memusuhiku, aku cuma menebak-nebak buah mangga. Sikapnya jauh berbeda dari biasanya. Dia tidak ngomong sama sekali ke gue, dia cuek dan mukanya dijudes-judesin, jadi kalian tahu kan apa sebabnya gue menjulukinya "nenek sihir". Nenek sihir kan gak banyak omong, baca mantra selesai, cuek sama orang yang diculik untuk dikorbanin dan yang pasti mukanya jelek, karena kalau cantik pasti namanya "cinderella".
Hal seperti ini sering dia lakuin. Dari gue masih kecil, setiap gue bermasalah, pasti tidak akan pernah bertegur sapa, sampai gue ngomong duluan dan nanyain, baru deh dia mencaci-maki gue dan gue pasti dalam posisi salah dan dalam posisi harus minta maaf.
Kali ini gue sudah eneg dengan tingkah laku "nenek sihir" yang kayak anak kecil, merajuk. Gue biarin saja, dan ternyata gue jadi seperti menyimpan sampah. Namun kali ini gue menyimpan sampah yang bisa didaur ulang :)
Gue siapin langkah gue untuk mengajari si "nenek sihir" agar bisa belajar untuk menghargai alur hidup. Yang tua tidak selalu benar, yang muda tidak selalu harus mendahului minta maaf. Gue belajar itu dari keluarga inti gue sendiri.

So, nenek sihir, gue buang sampah di muka loe :) ... gue tulis disini, untuk membuang sampah yang tidak bisa didaur ulang. Yang bisa didaur ulang, ... loe bersiap saja kena muka loe sendiri ya ... hihihihihihihihihihihi ... (tawa nenek sihir).

Sabtu, 05 Maret 2016 0 komentar

Pemahaman ... manusia



Pernah mendengar ?? ... kekuatan pikiran. Saat kita menginginkan sesuatu dengan kuat, pikiran kita akan melontarkannya ke alam semesta, mengalami proses sedemikian rupa dan akan terjadi.

Pernah mendengar ?? ... apapun yang kita inginkan harus seturut dengan kehendak Tuhan sebagai Sang Pencipta Alam Semesta.

Pernah mendengar ?? ... untuk apa repot-repot toh semua sudah ada yang mengatur, baik itu rejeki, jodoh dan hidup.

Pernah mendengar ?? ... kita harus bekerja keras dan berdoa.

Pernah mendengar ?? ... kalau keinginan kita tidak tercapai, kemungkinan karena itu bukan jalan atau kehendakNya


Sabtu, 27 Februari 2016 0 komentar

Pernah GAK LOE !

Bacaan Khusus 18+ (dan sudah dewasa ... bukan sudah tua)


Pernah ga loe merasa hidupmu paling susah diantara teman-temanmu ?
Pernah ga loe bertanya pada Tuhan, mengapa kok loe dilahirkan dalam lingkungan yang loe ngerasa ndak enak ?
Pernah ga loe berdoa minta petunjuk pada Tuhan, untuk apa loe dilahirkan di dunia ini ?

Gue pernah. Gue lakuin semua yang gue tulis diatas. Gue alami lebih daripada yang bisa gue tulis, terlalu yang bisa gue tuliskan namun tidak bisa gue tuliskan, karena bisa jadi novel heheheh :).

Rabu, 20 Januari 2016 0 komentar

Militan yang Bodoh berteman dengan Basa Basi Busuk

Masih segar di ingatan kita, kejadian bom bunuh diri di Jakarta awal Januari 2016, yang dilakukan oleh beberapa orang, entah apa tujuannya. Serangkaian aksi terorisme ini dikatakan oleh aparat, dilakukan oleh ISIS yang bertujuan untuk menunjukkan kepemimpinan mereka di Indonesia. Terkait dengan aksi pengeboman bunuh diri tersebut, ada hal lucu yang menggelitik pinggangku :D ...

Banyak yang mengatakan para eksekutor bom bunuh diri ini, menerima perintah dari pimpinannya, dengan dalih mati syahid, atau dijanjikan surga, atau untuk kepentingan agama yang lebih besar, atau apalah. Cuma kenapa ya, para eksekutor bom bunuh diri ini, mau saja di perintahkan oleh pimpinannya ? Kenapa mereka tidak meminta contoh dahulu dari para pimpinannya ? Atau kenapa pimpinannya tidak maju duluan namun malah hanya memberikan perintah bunuh diri saja ? Jangan-jangan pimpinannya juga takut, hehehehe :)
Para eksekutor bom bunuh diri, menjadikan diri mereka militan yang bodoh menurutku.
Sabtu, 16 Januari 2016 0 komentar

Pelayanan



Dasar pelayanan gereja : 1 Timotius 3


" Hidup hanya sekali, umur juga tidak bisa diprediksi, kapan lagi kita melayani Tuhan (baca : jadi Pelayan) "


Menjadi pelayan gereja, dalam hal ini entah Penatua ataupun Diaken, dipilih oleh jemaat gereja melalui pemungutan suara, mirip jika kita ingin memilih calon-calon anggota Legislatif. Yah mungkin ini hanya terjadi di gerejaku saja, pengamatanku saja, belum tentu benar dan belum tentu sesuai dengan gereja lain. Bahkan tulisanku pun belum tentu benar, bisa saja hanya karanganku doang, imajinasi semata atau ... bercampur dengan kenyataan yang aku alami. Hehehe. Aku ajak Anda yang iseng membaca tulisanku ini untuk mempergunakan insting masing-masing. Mau dianggap benar, monggo. Mau dianggap ngayal, juga monggo. Mau gak dianggap juga silahkan, mungkin Anda hanya iseng saja nyasar ke halaman ini ya. :D

Suatu pagi yang cerah, seorang suami dari Pelayan gereja (Penatua atau Diaken), ngobrol santai denganku. Awalnya dia hanya bercerita tentang aktifitasnya sehari-hari yang harus menunggui ibu mertuanya yang sudah mulai tua renta, pikun, sakit-sakitan, dan bau (hehehe bumbuku saja ini mah). Dia banyak bercerita bagaimana kelakuan ibu mertuanya sehari-hari, dan secara tidak sadar dia mulai mengeluh tentang beratnya beban yang harus dia tanggung. Bagaimana dia harus meninggalkan beberapa pekerjaannya, bagaimana dia harus menggantung tugasnya dan beberapa hal lainnya. Sementara istrinya sibuk dengan aktifitas pelayanan gereja, dari pagi hingga malam.
Kadang dia mengelak, saat aku mengatakan, bahwa beban dia harus dibagi dengan saudara-saudaranya yang lain, toh yang punya ibu bukan hanya dia semata. Dia menjawab, bahwa menjaga ibu mertuanya bukan beban tapi memang keharusan, namun saat aku kembalikan pada posisi dia, saudara dan istrinya, dia tetap bersikukuh bahwa dia tidak terbebani.

(lha terus tadi ngomong karena menjaga ibu, dia jadi menggantung pekerjaannya, jadi tidak bisa aktif kesana kemari, itu kenapa ya ? ... hmmm .. iseng atau curhat tuh .. :D)

Saat aku mengusulkan agar dia meminta istrinya untuk mengundurkan diri, dia menolaknya. Dengan gamblangnya dia "menuturi" aku, "hidupmu mau berapa lama, mau kapan lagi melayani Tuhan". Lah isengku muncul, aku jawab dengan gilanya "lah tapi kalau jadi pelayan gereja, malah jadi sandungan bagi keluarga, apa bener. Kalau diluar berkotbah, kasihilah sesamamu, tapi keluarganya kocar-kacir, apa bener ?".

(hehehe, isengku keterlaluan mungkin, lebih tepatnya kegilaanku untuk menjawab)


Pemikiran gilaku ...
Jadi pelayan bagi Tuhan, sepertinya tidak harus menjadi Penatua, Diaken, ataupun terlibat organisasi di dalam gereja itu sendiri secara langsung. Karena "sepertinya" Yesus pernah berkata, kurang lebih ya ... "ketika aku lapar, kamu memberi aku makan. Ketika aku seorang asing, kamu memberi aku tumpangan." Dan seterusnya, baca sendiri deh di Matius 25: 31-46.
Saat kita melakukan sesuatu hal untuk orang lain, bahkan yang dianggap hina, maka kita telah melakukannya untuk Dia, bahasa mudahnya menjadi pelayan bagi Dia.

Aku tidak sedang ingin mengkritik pelayan gereja, karena aku juga tidak lebih baik dari mereka. Aku tidak sedang ingin mengkritik suami-suami yang terbeban oleh istri-istrinya yang lebih aktif di gereja atau sebaliknya, yang mungkin mengakibatkan ketidak seimbangan dalam hidup keluarga, toh aku juga tidak tahu permasalahan sebenarnya yang mereka alami.
Namun aku ingin berkata, rasanya akan sia-sia mendasari aktifitas bergereja kita setiap hari, menyibukkan diri menjadi pelayan gereja, berkotbah dari pintu ke pintu namun kita mengesampingkan berkat Tuhan yang setiap hari ada bersama kita, yaitu keluarga.

Aku juga bukan kepala keluarga idaman bagi keluarga lain. Tapi aku yakin, istri dan anak yang diberikan Tuhan kepadaku sebagai berkat yang luar biasa, berbahagia dengan apapun dan yang akan Tuhan berikan bagi kami.
Sebelum kita menyibukkan diri berdalih melayani Tuhan lewat organisasi gereja, sudahkah kita menyibukkan diri melayani keluarga kita yang diberikan Tuhan bagi kita ?
Ataukah keluarga kita jadi merasa ditinggalkan karena kita sibuk menjadi pelayan gereja. ?

Satu hal lagi yang mungkin bisa direnungkan .. " jadi pelayan gereja atas nama Tuhan, atau jadi pelayan Tuhan atas nama gereja, atau jadi pelayan gereja saja, atau jadi pelayan Tuhan saja "



**
mumet mumet deh heheheh :) ga usah serius-serius. Kadang hidup tidak selamanya harus dilihat secara serius, karena terkadang ilmu hidup malah muncul lewat Stand Up Comedy, yang lucu :)






 
;