Masih segar di ingatan kita, kejadian bom bunuh diri di Jakarta awal Januari 2016, yang dilakukan oleh beberapa orang, entah apa tujuannya. Serangkaian aksi terorisme ini dikatakan oleh aparat, dilakukan oleh ISIS yang bertujuan untuk menunjukkan kepemimpinan mereka di Indonesia. Terkait dengan aksi pengeboman bunuh diri tersebut, ada hal lucu yang menggelitik pinggangku :D ...
Banyak yang mengatakan para eksekutor bom bunuh diri ini, menerima perintah dari pimpinannya, dengan dalih mati syahid, atau dijanjikan surga, atau untuk kepentingan agama yang lebih besar, atau apalah. Cuma kenapa ya, para eksekutor bom bunuh diri ini, mau saja di perintahkan oleh pimpinannya ? Kenapa mereka tidak meminta contoh dahulu dari para pimpinannya ? Atau kenapa pimpinannya tidak maju duluan namun malah hanya memberikan perintah bunuh diri saja ? Jangan-jangan pimpinannya juga takut, hehehehe :)
Para eksekutor bom bunuh diri, menjadikan diri mereka militan yang bodoh menurutku.
Dasar pelayanan gereja : 1 Timotius 3
" Hidup hanya sekali, umur juga tidak bisa diprediksi, kapan lagi kita melayani Tuhan (baca : jadi Pelayan) "
Menjadi pelayan gereja, dalam hal ini entah Penatua ataupun Diaken, dipilih oleh jemaat gereja melalui pemungutan suara, mirip jika kita ingin memilih calon-calon anggota Legislatif. Yah mungkin ini hanya terjadi di gerejaku saja, pengamatanku saja, belum tentu benar dan belum tentu sesuai dengan gereja lain. Bahkan tulisanku pun belum tentu benar, bisa saja hanya karanganku doang, imajinasi semata atau ... bercampur dengan kenyataan yang aku alami. Hehehe. Aku ajak Anda yang iseng membaca tulisanku ini untuk mempergunakan insting masing-masing. Mau dianggap benar, monggo. Mau dianggap ngayal, juga monggo. Mau gak dianggap juga silahkan, mungkin Anda hanya iseng saja nyasar ke halaman ini ya. :D
Suatu pagi yang cerah, seorang suami dari Pelayan gereja (Penatua atau Diaken), ngobrol santai denganku. Awalnya dia hanya bercerita tentang aktifitasnya sehari-hari yang harus menunggui ibu mertuanya yang sudah mulai tua renta, pikun, sakit-sakitan, dan bau (hehehe bumbuku saja ini mah). Dia banyak bercerita bagaimana kelakuan ibu mertuanya sehari-hari, dan secara tidak sadar dia mulai mengeluh tentang beratnya beban yang harus dia tanggung. Bagaimana dia harus meninggalkan beberapa pekerjaannya, bagaimana dia harus menggantung tugasnya dan beberapa hal lainnya. Sementara istrinya sibuk dengan aktifitas pelayanan gereja, dari pagi hingga malam.
Kadang dia mengelak, saat aku mengatakan, bahwa beban dia harus dibagi dengan saudara-saudaranya yang lain, toh yang punya ibu bukan hanya dia semata. Dia menjawab, bahwa menjaga ibu mertuanya bukan beban tapi memang keharusan, namun saat aku kembalikan pada posisi dia, saudara dan istrinya, dia tetap bersikukuh bahwa dia tidak terbebani.
(lha terus tadi ngomong karena menjaga ibu, dia jadi menggantung pekerjaannya, jadi tidak bisa aktif kesana kemari, itu kenapa ya ? ... hmmm .. iseng atau curhat tuh .. :D)
Saat aku mengusulkan agar dia meminta istrinya untuk mengundurkan diri, dia menolaknya. Dengan gamblangnya dia "menuturi" aku, "hidupmu mau berapa lama, mau kapan lagi melayani Tuhan". Lah isengku muncul, aku jawab dengan gilanya "lah tapi kalau jadi pelayan gereja, malah jadi sandungan bagi keluarga, apa bener. Kalau diluar berkotbah, kasihilah sesamamu, tapi keluarganya kocar-kacir, apa bener ?".
(hehehe, isengku keterlaluan mungkin, lebih tepatnya kegilaanku untuk menjawab)
Pemikiran gilaku ...
Jadi pelayan bagi Tuhan, sepertinya tidak harus menjadi Penatua, Diaken, ataupun terlibat organisasi di dalam gereja itu sendiri secara langsung. Karena "sepertinya" Yesus pernah berkata, kurang lebih ya ... "ketika aku lapar, kamu memberi aku makan. Ketika aku seorang asing, kamu memberi aku tumpangan." Dan seterusnya, baca sendiri deh di Matius 25: 31-46.
Saat kita melakukan sesuatu hal untuk orang lain, bahkan yang dianggap hina, maka kita telah melakukannya untuk Dia, bahasa mudahnya menjadi pelayan bagi Dia.
Aku tidak sedang ingin mengkritik pelayan gereja, karena aku juga tidak lebih baik dari mereka. Aku tidak sedang ingin mengkritik suami-suami yang terbeban oleh istri-istrinya yang lebih aktif di gereja atau sebaliknya, yang mungkin mengakibatkan ketidak seimbangan dalam hidup keluarga, toh aku juga tidak tahu permasalahan sebenarnya yang mereka alami.
Namun aku ingin berkata, rasanya akan sia-sia mendasari aktifitas bergereja kita setiap hari, menyibukkan diri menjadi pelayan gereja, berkotbah dari pintu ke pintu namun kita mengesampingkan berkat Tuhan yang setiap hari ada bersama kita, yaitu keluarga.
Aku juga bukan kepala keluarga idaman bagi keluarga lain. Tapi aku yakin, istri dan anak yang diberikan Tuhan kepadaku sebagai berkat yang luar biasa, berbahagia dengan apapun dan yang akan Tuhan berikan bagi kami.
Sebelum kita menyibukkan diri berdalih melayani Tuhan lewat organisasi gereja, sudahkah kita menyibukkan diri melayani keluarga kita yang diberikan Tuhan bagi kita ?
Ataukah keluarga kita jadi merasa ditinggalkan karena kita sibuk menjadi pelayan gereja. ?
Satu hal lagi yang mungkin bisa direnungkan .. " jadi pelayan gereja atas nama Tuhan, atau jadi pelayan Tuhan atas nama gereja, atau jadi pelayan gereja saja, atau jadi pelayan Tuhan saja "
**
mumet mumet deh heheheh :) ga usah serius-serius. Kadang hidup tidak selamanya harus dilihat secara serius, karena terkadang ilmu hidup malah muncul lewat Stand Up Comedy, yang lucu :)
Langganan:
Postingan (Atom)